Dulu saya tidak suka mendengar kata aktivis seperti halnya saya
tidak menyukai kata feminis, LGBT, ganja, anarkisme, dan segala hal yang “dibenci”
oleh masyarakat umum.
Sialnya saya terjebak di perpustakaan, membaca banyak literatur dan
membuat segala hal yang awalnya kubenci karena tidak kuketahui, menjadi sesuatu
yang biasa saja. Saya merasa sial karena pikiranku akhirnya dipenuhi dengan
agenda untuk merubah segala sesuatunya, yang rasanya tampak mustahil. Tapi apa yang
lebih memalukan daripada mengingkari ilmu pengetahuan?
Dalam KBBI, aktivis berarti orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani,
pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu
atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.
Sebenarnya tulisan ini bermula dari obrolan saya bersama tim riset
Active Society Institute dan MAUPE Maros. Saya bergabung membantu Active Society
Institute dalam riset berjudul Kerentanan Kehidupan Perempuan Pedagang di Pasar
Terong dan usai membuat laporan riset didampingi Nurhady Sirimorok kami
berdiskusi tentang betapa susahnya menjadi aktivis perempuan di Makassar.
Nurhady Sirimorok adalah peneliti di Komunitas Ininnawa, salah
satu tempat saya belajar selama ini. Ia adalah salah satu penerjemah buku Manusia
Bugis yang ditulis oleh Cristian Pelras.
Ia menjelaskan bahwa hirarki sosial di masyarakat Bugis-Makassar menyebabkan
berbagai penderitaan dan anak perempuanlah yang paling menderita dari semuanya.
Anak perempuan harus menoleransi banyak hal yang terjadi di masyarakat,
misalnya anak laki-laki diberikan kebebasan untuk “mencari jati diri” sedangkan
anak perempuan sebaliknya, ia harus menekan rasa ingin tahu pada banyak hal
karena disuruh diam. Suara anak kecil tidak pernah diperhitungkan dalam
keluarga, apalagi anak perempuan. Hal itu yang membuat anak-anak tumbuh menjadi
anti kritik, tidak percaya diri mengemukakan pendapat, bahkan bisa menjadi
pelaku kekerasan selanjutnya jika saat kecil ia dibungkam dengan cara dipukuli.
Hal lain yang mempengaruhi adalah gaya mendidik yang diwariskan oleh
masa orde baru. Dulunya masyarakat Bugis dikenal memiliki semangat kolektif
yang tinggi. Namun orde baru yang sistemik hadir perlahan menghancurkan
semangat kolektif tersebut. Alhasil masyarakat Bugis Makassar menjadi
individualis, sangat kompetitif, dan gengsian.
Kemudian orang tua yang dibesarkan di masa orde baru ini membesarkan
anak-anaknya sebagian besar mengharuskan mereka kelak mendapatkan pekerjaan
yang pasti. Kepastian adalah salah satu hal yang paling dianggap penting. Maka
dari itu cita-cita anak-anak akhirnya menjadi seragam : PNS, selain pasti
terjamin, pekerjaan ini juga menjadi salah satu cara untuk mendapatkan status
sosial di masyarakat.
Padahal sebenarnya tidak ada yang pasti di dunia ini, ekonomi,
politik, dan negara pun bisa sewaktu-waktu kolaps.
Dari situ saya mengingat kembali semua hal yang saya alami sejak
remaja. Tentang kejengkelanku ketika bersekolah di kampung, sehabis magrib para
anak laki-laki bebas berkumpul belajar bermain gitar dan mendengarkan musik,
sedangkan saya tidak boleh keluar rumah. Ketika ada anggota keluarga yang hamil
di luar nikah, hanya pihak perempuan yang mendapat sangsi dan kami yang tidak
terlibat ikut-ikutan dilarang bergaul dengan anak laki-laki.
Saat beranjak dewasa, ketika ada yang tidak sependapat denganku,
saya terbawa emosi dan menghindarinya, mencari teman baru.
Saya tidak pernah diajari menyelesaikan konflik karena waktu sekolah
saya senang berkompetisi. Saya juga menghindar bergaul terlalu lama dengan anak
perempuan karena mereka senang bergosip, saya lebih tertarik pada hal-hal
ilmiah dan bergaul dengan teman lelaki demi menghindari drama.
Kebingunganku pada pengalaman berkolektif bersama teman-teman yang
seringkali bubar di tengah jalan pun akhirnya terjawab.
Termasuk ketika mempelajari mengenai anarkisme. Setiap kali saya
membaca wacana anarkisme saya selalu sepakat dan tertarik, hanya saja saya
meragukannya, karena dulu saya merasa gerakan harus yang pasti-pasti. Ternyata
semakin hari saya menyadari bahwa tak pernah ada satu jalan kebenaran bagi para anarkis,
seperti yang dikatakan Pam dalam pengantar buku Mempersenjatai Imajinasi. Belakangan
saya menghabiskan waktu membaca tulisan-tulisan tentang anarkis feminis dan
membuat saya bersemangat.
Bahwa untuk menghentikan penderitaan, harus dimulai dengan
menghancurkan otoritas terlebih dahulu. Otoritas apapun, negara, masyarakat dan moralitas sekalipun, adalah
takhayul purba yang harus dihancurkan. Para lelaki bajingan layak mendapatkan
pelajaran. Dan kita tidak butuh hukum dan polisi untuk mengatasi ini. Kamu
adalah hakim bagi dirimu sendiri, dan kamu dapat menentukan vonis yang kamu
anggap layak bagi para pelaku pencabulan dan pelecehan seksual. Persenjatai
diri! Dengan otonomi dan solidaritas, kita tentukan nasib sendiri! Demikian
yang tercatat dalam manifesto politik AFFC dan saya sepakat.
Di tengah segala tekanan keluarga untuk ini itu, saya percaya
mengedukasi diri sendiri adalah jalan tepat untuk mulai upaya untuk menentukan
nasibku sendiri. Dan menjaga perkawanan.
Komentar
Posting Komentar