Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Mantra #2

Saya pernah membaca ini dan menjadikannya mantra sumber kekuatan. "Aku hanya tak ingin mati sebagai orang yang tak berani memilih dan menjalani takdirnya. Semakin aku menjalani hidupku, aku semakin tahu bahwa aku berada di jalan yang aku impikan selama ini, pada malam-malam penuh kehangatan dan siang-siang penuh rasa dingin."

Pilihan Mengurangi Makan Produk Hewan Sama Seperti Pilihan Mengurangi G* Sintetis Karena G* Asli Memang Lebih Enak!

( Untuk Pena Hitam Fanzine Edisi 7 ) Tulisan ini bukan untuk menganjurkan kamu menjadi vegetarian. Percayalah!   Cerita ini dimulai dari saat saya berangkat ke kota dari desa tanah kelahiran dengan sedikit pertanyaan yang sering membuat saya marah tapi entah pada siapa, pertanyaan itu seperti: kenapa saya tidak boleh nongkrong dengan teman-teman lelaki di malam hari? Kenapa saya tidak boleh begadang? Hal-hal sederhana. Meski hidup di desa, saya dibesarkan dengan cara modern dan alhasil saya tumbuh menjadi generasi yang malas, suka mencari-cari alasan dan pembenaran, mau serba praktis, tidak suka bekerja secara kolektif (waktu remaja saya paling tidak suka jika diminta ke tetangga yang akan menikah dan membantu masak-masak), dan narsis: generasi millenial. Saya tidak menyangkal itu tapi untuk mencari jawaban atas pertanyaan, saya berusaha untuk tidak malas. Tiba di kota, bukannya langsung menemukan jawaban, yang ada kemarahan saya semakin menjadi-jadi karena ada

Bagaimana rasanya berlebaran setelah tidak menggunakan jilbab?

Tulisan ini lama tersimpan sebagai draft, mestinya kuselesaikan beberapa hari setelah lebaran kemarin. Baik. Jawabannya adalah melegakan sekaligus melelahkan. Mestinya keputusan ini kulakukan beberapa bulan sejak meninggalkan pengajian saat mahasiswa baru, tapi waktu itu saya terlalu penakut. Saya selalu khawatir terhadap apa yang orang lain pikirkan mengenai saya. Siapa yang ingin dianggap buruk? Saya tidak ingin, saat itu. Melegakan karena akhirnya saya berani melawan ketakutan-ketakutan itu. Saya berusaha tidak peduli apapun yang orang lain pikirkan tentang saya. Intinya saya hanya ingin mengurangi kamuflase dalam menjalani kehidupanku. Saya memiliki kehendak bebas. Dan persoalan agama? Saya sangat ingin jujur bahwa seandainya saya tidak berada di negara yang mewajibkan memeluk satu agama, saya ingin memilih tidak beragama. Kenapa? Karena pada akhirnya saya menyadari bahwa agama adalah salah satu tatanan khayalan yang bertujuan untuk melanggengkan suatu kekuasaan imp

Oleh-Oleh dari House of the Unsilenced

Hai. Tanggal 30 Juli sampai 3 Agustus 2018 kemarin saya ke Jakarta mengikuti kegiatan bernama House of the Unsilenced (Rumah Kami yang Tidak Bungkam). House of the Unsilenced adalah ajang seni yang mempertemukan seniman, penulis, dan penyintas kekerasan seksual untuk bersuara bersama seputar tema mulai bicara, tubuh dan suara, dan kehidupan penyintas. Ajang seni ini bertempat di Jakarta dan adalah bagian dari Creative Freedom Festival 2018 yang diselenggarakan oleh Inter Sastra bekerja sama dengan Koalisi Seni serta beberapa Lembaga lainnya. Saya bisa ikut berkat ajakan dari Eliza Vitri Handayani, pendiri Intersastra. Di sana saya juga bertemu teman yang sejak lama kukenal melalui dunia zine dan craft, Ika Vantiani. Ia menjadi kurator untuk kegiatan ini. Serta beberapa teman baru. Ada beberapa rangkaian kegiatan seperti lokakarya membuat majalah/buku, decoupage, kolase 3D, penulisan fiksi, self care body movement, dan banyak lagi. Selengkapnya lihat akun Instagram @unsi

FANTASI NANCY (INGIN KURAIH TELINGAMU)

Seseorang pernah mengatakan lebih mudah hidup dengan fantasi karena fantasi memberi makna pada penderitaan. Maka dari itu Nancy memilih mengurung dirinya di sebuah perpustakaan sebab ia merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi selain fantasi. Sejak usia 20 tahun Nancy memilih karir sebagai pustakawan agar ia bisa selalu dikelilingi oleh kisah-kisah yang tak akan ada habisnya dan tak perlu bertemu manusia lagi. Perpustakaan tempat Nancy bekerja, melayani peminjaman buku hingga pukul 10 malam untuk mahasiswa. Suatu malam Nancy sedang menghitung jumlah buku yang belum dikembalikan bulan itu ketika seorang lelaki tiba-tiba datang menyapa. “Saya sedang mencari buku tentang seni.” “Seni sangat luas kak, beritahu lebih detail agar saya lebih mudah mencarinya.” “Saya sebenarnya juga masih bingung, saya sedang buntu mengerjakan tugas akhirku untuk membuat sebuah lagu. Dosen pembimbing menantang saya menulis lagu-lagu berbahasa Indonesia dan saya kebingungan memulainya dari mana.” “

Mantra #1

Personalitas, harapan, dan hubungan-hubungan saya tidak pernah diam, dan mungkin bertransformasi sepenuhnya dari tahun ke tahun dan dari dekade ke dekade.  Namun, di bawah itu semua, saya tetap orang yang sama dari lahir sampai mati-dan mudah-mudahan sampai sesudah mati juga.

Nakal Boleh, Bodoh Jangan! (5 buku yang paling kurekomendasikan untuk dibaca)

(Kamu hanya butuh waktu membaca tulisan ini sekitar 3,7 menit jika kecepatan membacamu 300 kata per menit) “everything is connected to everything else” -Kalimat di ujung video klip Failed Imaginer-nya Propagandhi- Pernah tidak kamu berpikir seperti “ah kok karya-karya generasi sebelum saya keren-keren semua?” Entah itu saat mendengar musik, menonton film, melihat karya seni, atau membaca karya sastra. Beberapa tahun lalu saya selalu memikirkan itu. Merasa kesal sendiri karena rasanya tidak ada sisa untuk generasi belakangan seperti saya untuk membuat sesuatu yang baru, pokoknya semua yang keren-keren di dunia ini sudah pernah diciptakan! Kita hanya kebagian sesuatu bernama daur ulang pikirku saat itu. Hal itu membuat saya selalu bertanya-tanya, kalau begitu sebaiknya apa yang harus kuperbuat? Jawaban utama yang kutemukan adalah : membaca berbagai hal dan berdiskusi sesering mungkin. Namun apa yang harus saya baca? Jujur meski 10 tahun bekerja sebagai pustakawan, se