Langsung ke konten utama

Tentang kenapa saya pindah dari Jurusan Sastra Jepang ke Sastra Bugis-Makassar?



Pertanyaan itu sering sekali dilontarkan kepada saya sejak tahun 2009. Maka kurang lebih seperti ini jawabannya.

Adalah keberuntungan karena saya memiliki orang tua yang selalu membebaskan saya memilih dan menentukan sendiri jalan hidupku. Sejak kelas dua SMA, saya sudah melewati masa kebingungan memilih jurusan apa yang terbaik. Sebaik-baiknya jurusan adalah jurusan yang kau sukai dan minati, itu pikirku. Maka saya memilih Jurusan Bahasa meski pada akhirnya yang memilih jurusan itu hanya 12 orang di sekolahku. Saya menyukai Bahasa dan Sastra lebih tepat karena saya tak menyukai mengerjakan laporan praktikum dan sejenisnya, ya saya cukup malas untuk itu. Tentu saja Mama saya sempat memberi komentar "Sebenarnya saya berharap nantinya kau bekerja memakai pakaian putih-putih entah dokter, perawat, atau bidan." Namun kemudian ia merelakan pilihan saya sendiri, kukatakan saat itu saya hanya ingin menjadi guru, ya tentu saja itu jawaban yang asal-asalan juga.

Bersekolah di ibukota kabupaten tentu saja akses pada informasi mengenai jurusan dan masa depan itu tak banyak. Maka saat kesempatan mengusulkan bebas tes masuk perguruan tinggi negeri ada, saya asal saja memilih Sastra Jepang. Mau memilih Sastra Inggris tapi satu kelas saya lebih dulu memilihnya. Maka saya pun berkuliah di Sastra Jepang dengan senang hati meski tak ada gambaran sama sekali saat ditanya mau jadi apa nanti? Mau kerja di mana? Saya selalu berpikir jika saya punya banyak keahlian kelak saya tak perlu pusing mencari pekerjaan. Maka tak usah heran jika anda melihat saya semacam sangat senang bergonta-ganti kegemaran. Tak ada maksud ingin dikatakan sok multi talenta atau sejenisnya, saya hanya sedang mencari jati diri sebenarnya hahaha. Keluarga saya tak punya cadangan harta, maka saya memperbanyak cadangan lahan pekerjaan saja dengan memperbanyak keterampilan dan teman.

Hasilnya sejak mahasiswa baru, saya telah mencoba banyak pekerjaan. Mulai dari mengajar di tempat bimbingan belajar, menjadi pustakawan, menjadi asisten field trip mahasiswa Jepang, menjadi pengelola keuangan di Kampung Buku, freelance notulis di beberapa LSM, surveyor, dan penyunting aksara sebuah majalah bisnis. Tentu saja jika ada pilihan misalnya saya adalah anak yang mampu saya tak akan melakukan itu semua. Betapa iri saya pada teman-temanku yang mampu bergaul di mana-mana, belajar apa saja yang mereka inginkan, kursus di sana sini, tanpa perlu memikirkan uang jajannya akan terpotong. Kadang saya berpikir mungkin saya yang terlalu banyak mau? Entahlah...

Lalu saya bertemu dengan dua tempat keren di awal-awal masa perkuliahan, Komunitas Ininnawa dan Idefix. Di sana saya bertemu banyak orang yang senang membaca dan mengajarkan untuk selalu kritis, saya belajar banyak pada mereka. Dan lima orang yang (jika orang tua saya mengamuk saat itu) harus bertanggung jawab atas keinginan keras saya pindah jurusan adalah M.Aan Mansyur, Nurhady Sirimorok, Aslan Abidin, Anwar Jimpe, dan Ardadi Darwis. Berkat banyak mendengarkan diskusi mereka seputar budaya-budaya lokal, saya tak bisa menahan diri untuk menyegerakan berpindah jurusan. Saya mendadak tertarik dengan naskah-naskah kuno terutama lontara. Saya berpikir bahwa saya bebas memilih apa yang ingin saya pelajari. Beberapa teman mengatakan yang kulakukan adalah semacam bunuh diri kelas, dari Sastra Jepang yang tinggi statusnya turun ke Sastra Bugis-Makassar, saya tak pernah peduli. Saya hanya ingin belajar tanpa rencana jelas mau kuapakan sebenarnya ilmu itu nantinya.

Ada pilihan lain sebenarnya selain pindah jurusan, yaitu berhenti kuliah. Sejak membaca beberapa buku soal pendidikan terutama buku Sekolah Itu Candu, saat itu saya merasa sudah cukup untuk berkuliah, saya bisa dan ingin belajar banyak hal di luar dan tentu saja tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya lagi. Tapi kemudian permintaan ini ditolak oleh Mama saya. Maka saya pun tetap melanjutkan kuliah dengan syarat  adalah jika saya mau melakukan banyak hal selain kuliah atau istilah Mama saya "main-main kuliah" yang akan menyebabkan saya tak bisa selesai dengan cepat, setelah empat tahun saya harus membiayai kuliah saya sendiri. Deal! Maka konsentrasi saya semakin terpecah, fokus belajar, mencari uang, dan bersenang-senang. Hahaha... Oh betapa saya banyak mau...

Saya menyukai hampir semua mata kuliah di Sastra Jepang, terutama kebudayaan kunonya. Namun saya berpikir kebudayaan Bugis Makassar semakin kurang peminatnya, jika saya berminat dan tak ada yang menghalanginya kenapa tidak pindah jurusan saja? Dan benar dugaanku. Mata kuliah di Sastra Bugis Makassar adalah hal yang menarik. Saya tak ada gambaran sebelumnya mengenai apa yang akan kupelajari di sana. Saya terperangah pada banyak pengetahuan masyarakat Bugis Makassar yang keren, karya sastranya yang kaya, serta keseluruhannya tak kalah menarik untuk kupelajari.

Di Sastra Bugis Makassar saya belajar Filologi, Kodikologi, Antropolinguistik, Semiotika, membaca-menulis-menyimak-berbicara Bahasa Bugis dan Makassar, Semantik, Telaah Prosa, Hukum Adat, Sosiolinguistik, Kajian Lagaligo, dan banyak lagi. Dan siapa bilang itu mudah? Saya kadang kewalahan mengerjakan tugas sebab narasumbernya semakin hari semakin berkurang. Mencari data tentang naskah lontara di internet itu sedikit. Beruntung saya memiliki nenek yang bisa kutelpon kapan saja saat ada tugas seputar bahasa Bugis. Mata kuliah filologi dan kodikologi itu yang membuat saya takjub saat berhadapan dengan naskah. Sungguh mata kuliah itu sangat menyenangkan dan menarik, bagi yang menyukainya tentu saja.

Lalu apa yang mengecewakan? Sebab di jurusanku dosennya tak banyak, namun mata kuliahnya yang menarik, banyak dosen yang sibuk ke sana kemari menjadi dosen tamu. Beberapa sibuk penelitian. Beberapa sibuk menyelesaikan studi. Saya sering kali ingin berdiskusi pada mereka namun mereka sibuk. Hal yang baru kuketahui bahwa dosen di Indonesia dituntut untuk bisa mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat sekaligus. Tentu saja ini tidak efektif. Saya selalu berharap semua dosen bisa menghabiskan banyak waktu bersama mahasiswanya berbagi banyak hal, berdiskusi banyak hal. Namun sepertinya saya yang terlalu bermimpi atau terlalu sering menonton film-film pendidikan di luar negeri yang interaksi antara dosen dan mahasiswanya sangat banyak. Entahlah... Saya yang banyak mau mungkin.

Di tengah kekecewaan itu saya dihadapkan oleh kenyataan lain bahwa masih banyak yang ingin kuketahui. Ada begitu banyak pertanyaan tentang agama, seksualitas, kekuasaan, dan pelanggaran HAM di kepalaku. Maka saya tak lagi fokus pada kuliah-kuliah yang semula kukira saya akan fokus mempelajarinya. Saya menyibukkan diri mencari jawaban atas banyak pertanyaanku perihal kehidupan.

Setelah melalui proses panjang, bermalas-malasan, cuti kuliah, berkebun, ber-craft ria, menggila, dan penelitian yang selalu kutunda. Akhirnya saya bisa menyelesaikan masa perkuliahan ini tepat 6 tahun 3 bulan tanggal 22 Januari kemarin. Judul skripsiku "Pengobatan Sakit Kepala dalam Lontara Pabbura dan Praktiknya Pada Masa Kini - Pendekatan Etnofarmakologi". Saya akhirnya malu pada dosen pembimbingku karena kadang saya merasa sudah banyak belajar banyak hal namun proses pengerjaan skripsiku lambatnya bukan main dan banyak kesalahan di dalamnya. Saya menjadi sombong pada hal yang tak seberapa itu. Ya, sebab saya tak lagi fokus mengerjakannya. Saya melakukan hal lain yang kuanggap jauh lebih menyenangkan. Tentu saja, saya lebih senang membaca hasil-hasil penelitian yang ada di majalah National Geographic misalnya daripada membaca skripsi-skripsi yang bahasa dan penulisannya terlalu kaku menurutku. Adalah hal yang tidak bisa kuhindari juga tentu saja. Maka saya menuruti saja apa kata dosenku, tak selamanya juga saya melakukan itu pikirku. Dan belakangan itu bisa kutoleransi dan saya mempelajari banyak hal juga dari situ.

Saat menuju hari H ujian meja ini saya kembali bersemangat untuk belajar banyak hal seputar Sastra Bugis Makassar. Terutama pada naskah lontara pabbura yang kukaji berdasarkan teori yang bukan dari jurusanku melainkan Antropologi. Hahhay... See? Betapa plin-plan nya saya. Saat ini saya mau belajar Antropologi Kesehatan lagi. Saya ingin belajar banyak hal dari dosen jurusan Antropologi, kak Yahya. Saya hanya ingin melakukan penelitian yang manfaatnya bisa langsung kurasakan. Sebab saya tak senang mengonsumsi obat kimia, maka cara agar saya disiplin mempelajari tumbuhan obat ya dengan cara ini.

Apa yang bisa kubanggakan? Saya bahkan tak menjadi ahli pada satu bidang pun. Saya terlalu banyak mau.
Lalu ingin jadi apa saya?
Hehehe... Saya pun tak tahu. Masa depan belumlah tertuliskan. Saya hanya ingin menikmati proses hidup saya dengan belajar dan bersenang-senang tentu saja tanpa harus menyakiti orang lain.Atau saya yang terlalu banyak mau?

Komentar

  1. Artikel menarik.... Saya ingin berbagi wawancara dengan Akira Kurosawa (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...