Sebenarnya tulisan ini kubuat
saat ulang tahun Ziva kemarin tapi baru beberapa paragraf saya tidak lanjutkan karena
tertunda oleh kesibukan lain hehehe… Barupa lagi ingat, maafkan :)
Ziva saat berumur 3 tahun
Sejak kecil saya
sangat senang dengan proses belajar mengajar. Kalau tak salah ingat, sejak saat
duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Dulu rumah kami di jalan Deppasawi tak
jauh dari kampus Atma Jaya Makassar, saat itu perumahan Tanjung Bunga belum
ada, di sana adalah hamparan sawah, tepat di depan rumah kami. Orang tuaku
membangun rumah panggung atas, di bawahnya dibangun beberapa kamar kosan. Kosan
tersebut disewa beberapa keluarga yang berprofesi sebagai pengayuh becak dan
pemulung barang bekas. Beberapa anak mereka menjadi teman bermainku, kami
senang bermain sekolah-sekolahan karena memang mereka tak bersekolah. Saya yang
sering ditunjuk menulis di papan tulis saat bersekolah, sering mencuri beberapa
kapur untuk kubawa pulang. Saya meminta bapakku membuatkan papan tulis dari
sisa tripleks lalu dicat hitam.
Saat SMP kami
pindah rumah, di kampung tepatnya di Kecamatan Pitumpanua, Wajo. Di kelas saya
senang berpura-pura menjadi guru dan menjelaskan panjang lebar tentang apa itu
CINTA ketika jam pelajaran sedang kosong. Saya senang ketika teman-teman
sekelasku tertawa dari segala penjelasan omong kosongku tentang cinta, sebab
saat itu memang sedang tren kami menonton film Ada Apa Dengan Cinta. Seorang
guru SMP ku berkata kelak saya akan menjadi guru, karena saat seusianya selain
senang menulis di papan tulis ia juga sering diminta oleh gurunya membantu
menuliskan nilai rapor, saya tiap semester melakukan itu. Kupikir mungkin
benar, saya pun bercita-cita menjadi guru.
Kemudian saat
SMA, saya bersekolah di ibukota kabupaten, Sengkang. Jauh dari orang tua saya
memilih mengontrak kamar kos daripada menumpang di rumah tanteku. Selain alasan
tempatnya lumayan jauh juga karena saya ikut banyak kegitan ekstrakurikuler
sehingga saya biasanyamenghabiskan waktu di sekolah bahkan menginap di
sekertariat OSIS, saya tak ingin merasa tak enak jika terus-terusan pulang
terlambat pada tanteku. Tepat di depan kosanku, saya bertemu dua anak kecil
yang orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya, orang tuanya juga bekerja
sebagai pemulung barang bekas. Saya kemudian mengajak dua anak tersebut
main-main di kamarku sambil mengajari mereka membaca. Beberapa temanku membantu
membelikan peralatan menulis. Saya selalu senang mengajar anak kecil. Tak lama
mereka pindah rumah, saya juga karena sudah selesai SMA, pindah ke Makassar.
Saat SMA saya
berencana mengambil jurusan Sastra Jerman di UNM agar bisa jadi guru Bahasa Jerman tapi ternyata
saya lolos tanpa tes di Sastra Jepang Unhas. Kupikir tak ada bedanya sebab
sama-sama bahasa asing, saya pun berkuliah di sana meski dua tahun kemudian saya
malah pindah juruan ke Sastra Bugis-Makassar.
Karena terbiasa sibuk sana-sini, saya tak biasa diam di kosan. Saya pun mencari pekerjaan tambahan, menjadi guru les sembari menjadi relawan pustakwan di Kafe Baca Biblioholic sejak tahun pertama kuliah. Menjadi guru les untuk anak-anak di sebuah SD di BTP, saya sangat bersemangat hingga pada bulan kedua, saya diwajibkan belajar sempoa sebagai tambahan oleh pengelola les. Karena tak senang dengan hitung-hitungan, saya memutuskan berhenti. Selang sebulan teman saya mengajak untuk mengajar lagi, di tempat bimbingan belajar daerah pusat kota. Hal ini juga tak berlangsung lama. Pasalnya murid-murid di sana adalah anak-anak kalangan menengah. Orang tuanya sibuk berbisnis sehingga anak-anak itu dimasukan dalam berbagai les sepanjang hari, sampai malam mereka tak punya banyak waktu bermain. Sebenarnya itu bukan masalah bagi saya, saya dengan senang hati membiarkan mereka bermain dalam kelas. Namun saya mendapat teguran karena tidak menyelsaikan modul pembelajaran mereka. Target pengajaran tak sampai karena saya terlalu banyak membiarkan mereka bermain. Antara harus menyelesaikan modul dan tak tega melihat mereka sangat ingin bermain, saya akhirnya memutuskan berhenti, saya tak ingin mengajar dengan beban seperti itu. Saat itu saya berpikir saya harus mencari formula mengajar yang baik.
Karena terbiasa sibuk sana-sini, saya tak biasa diam di kosan. Saya pun mencari pekerjaan tambahan, menjadi guru les sembari menjadi relawan pustakwan di Kafe Baca Biblioholic sejak tahun pertama kuliah. Menjadi guru les untuk anak-anak di sebuah SD di BTP, saya sangat bersemangat hingga pada bulan kedua, saya diwajibkan belajar sempoa sebagai tambahan oleh pengelola les. Karena tak senang dengan hitung-hitungan, saya memutuskan berhenti. Selang sebulan teman saya mengajak untuk mengajar lagi, di tempat bimbingan belajar daerah pusat kota. Hal ini juga tak berlangsung lama. Pasalnya murid-murid di sana adalah anak-anak kalangan menengah. Orang tuanya sibuk berbisnis sehingga anak-anak itu dimasukan dalam berbagai les sepanjang hari, sampai malam mereka tak punya banyak waktu bermain. Sebenarnya itu bukan masalah bagi saya, saya dengan senang hati membiarkan mereka bermain dalam kelas. Namun saya mendapat teguran karena tidak menyelsaikan modul pembelajaran mereka. Target pengajaran tak sampai karena saya terlalu banyak membiarkan mereka bermain. Antara harus menyelesaikan modul dan tak tega melihat mereka sangat ingin bermain, saya akhirnya memutuskan berhenti, saya tak ingin mengajar dengan beban seperti itu. Saat itu saya berpikir saya harus mencari formula mengajar yang baik.
Selang lima
tahun kemudian, setelah menyelesaikan kuliah, setelah terakhir kali mengajar
anak-anak (sebenarnya dalam kurun lima tahun itu sesekali saya masih sering
mengajar anak kecil lewat perpustakaan keliling Rumah KaMU-Kaum Muda, juga
mengisi kelas daur ulang di beberapa sekolah) saya yang baru saja menyelesaikan
buku Summerhill School yang kupinjam dari Kak Nyomnyom kembali bersemangat
ingin mengajar anak-anak. Buku itu banyak memberi gambaran mengajar yang baik,
sekolah yang membebaskan.
Saat sedang
bersemangat kebetulan pula saya dimintai membantu mengerjakan PR anak-anak oleh
tetanggaku. Kupikir mungkin ini saatnya kembali mencoba mengajar dengan baik,
tanpa mengabaikan kenginan mereka untuk bermain-main. Saat itu jumlah muridku
di rumah 7 orang yang tetap. Saya mengajak mereka mendiskusikan model belajar
kami, permainan apa yang mereka ingin saya sediakan, dan segala hal kami
bicarakan. Meski saya kadang kewalahan karena usia mereka berbeda-beda,
kelasnya tak ada yang sama, ada SMP dan SD. Mau tak mau saya harus belajar
ulang semua pelajaran mereka. Dan saya harus jujur ketika tak mampu
menyelesaikan soal mereka. Mereka selalu bersemangat saat PR selesai dan saya
memberi mereka watu bermain, membuat gelang, dan membaca buku yang kusediakan.
Tak berapa lama,
Kak Isdah memintaku mengajarkan Craft and
Art pada anak sulungnya Ziva. Hal itu membuat saya sangat senang. Meski ada
sedikit kekhawatiran karena sebelumnya saya tidak memiliki pengalaman mengajar
anak-anak khusus untuk bidang itu. Saya lalu menghubungi kak Yufinats untuk
meminta tipsnya.
Mengajar Ziva
dan anak-anak tetanggaku ternyata sangat jauh berbeda. Saya justru banyak
belajar dari Ziva. Hal yang lucu karena sebenarnya saya kadang kebingungan,
saya kadang melihat Ziva sudah lebih banyak tahu tentang ini itu, saya sering menyiapkan
materi yang sulit bagi anak seusianya. Saya tekadang lupa kalau dia masih anak kecil.
Banyak hal yang membuat saya terkaget kaget saat mengajar Ziva, selalu jauh
dari apa yang kupikirkan, kadang saya menganggap sulit untuk ia lakukan tapi
ternyata mampu ia lakukan, namun sebaliknya kadang kuanggap cukup mudah untuk
ia lakukan saat mencoba ternyata tak semudah yang kubayangkan. Hal itu
kutangkap sejak kelas pertama saya dan Ziva. Sehingga saya selalu menamai
pertemuan kami Amazing Day With Ziva.
Karena ia selalu saja membuat saya takjub. Dan yang menyenangkan kami bisa
berbagi banyak hal layaknya sahabat, saya senang dia selalu banyak tanya. Meski
begitu saya masih tak mampu menebak dan dia selalu membuat saya kebingungan
materi apa lagi yang harus saya siapkan agar ia tak bosan. Saya selalu
menganggapnya sudah bisa membuat apa saja. Itu membuat saya bersemangat untuk
banyak belajar lagi.
Saya pikir mungkin
erat hubungannya dengan imajinasinya dari membaca buku, kutahu Ziva sangat
senang membaca buku. Saya mencoba mengajak anak-anak tetangga saya untuk
menyenangi kegiatan membaca tapi ternyata tak mudah. Saat kutanya Aan Mansyur,
bagaimana cara agar bisa mengajak anak kecil rajin membaca buku? Ia mengatakan
memang tak mudah, jika dibandigkan dengan Ziva bisa seperti itu karena
lingkungan dan tentu saja ia meniru kebiasaan orang tuanya. Bagaimana mungkin
ia terbiasa membaca buku jika tak pernah melihat orang tuanya membaca buku?
Dari
segala hal yang kupelajari tentang belajar dan mengajar hingga saat ini, saya
akan selalu ingat kutipan buku Summerhill School halaman 128, “Rumah yang
paling membahagiakan adalah rumah yang di dalamnya ayah dan ibu sepenuhnya
berlaku jujur pada anak-anak mereka, tanpa memberi khotbah moral pada mereka.
Tak ada ketakutan di dalam rumah seperti ini, kasih sayang akan tumbuh subur.
Orang tua yang memasang harga diri tinggi dan menagih sikap hormat niscaya
melarat kasih sayang. Sikap hormat yang dipaksakan selalu menyertakan
ketakutan.” Bukan hanya di rumah, kukira semua tempat harus berlaku sama,
termasuk di sekolah.
Saya
senantiasa belajar kembali dari murid-muridku. Mereka selalu
menyenangkan dan mengejutkan. Saya selalu berusaha tidak melakukan kesalahan
yang sama dari guru-guru sekolahku yang tak kusuka dulu. Dan saya ingin
berterima kasih pada Ziva dan tentu saja kedua orang tuanya yang lebih hebat telah
mempercayakan saya mengajar Ziva. Selamat ulang tahun Tanci (tante Cipa
hihihi).
Komentar
Posting Komentar