Langsung ke konten utama

Pasar Terong dan Perempuan Pedagang


Setelah sepuluh tahun PERDA Kota Makassar No.15 Tahun 2009 dan dampaknya pada Kerentanan Perempuan Pedagang Saat Ini.
 Modernisasi seringkali menjadi dalih pemerintah menutupi kegagapan mereka merumuskan kebijakan. Semakin tampak jelas jika itu berkaitan dengan pasar lokal atau yang biasa disebut dengan pasar tradisional. Memisahkan ‘modern’ dan ‘tradisional’ adalah salah satu sumber kegagapan pemerintah dalam memandang pasar lokal. Pemisahan tersebut menempatkan pasar lokal pada posisi yang ‘tertinggal’ sehingga harus diubah dan dibuat ‘maju’—cara pandang yang selalu mengabaikan kebutuhan para pedagang yang berada di pasar lokal.
Salah satu pasar lokal yang selalu menghadapi persoalan tersebut adalah Pasar Terong. Sejak terbentuk di pertengahan dekade 60-an hingga saat ini, para pedagang di pasar terong harus menjadi korban untuk memenuhi ‘modernisasi’ yang ditafsirkan semena-mena oleh pemerintah. Dari penggusuran hingga perubahan bentuk fisik dari pasar terong.
“Pedagang di Pasar Terong itu kebiasaannya menghampar barang dagangan, bukan disusun dalam kios-kios. Makanya pas dibuatkan pasar model mall lengkap dengan eskalator canggih, cuma berjalan tiga bulan, setelah itu pedagang beramai-ramai tinggalkan tempatnya di lantai 3 dan menggelar jualannya di pinggir jalan. Lagipula siapa pembeli yang mau naik ke lantai 3 hanya untuk beli tomat?” Kata Dg.Lala, ketua Persaudaraan Pedagang Pasar (SADAR), merespon pembangunan gedung beralantai 4 yang memaksa pedagang untuk berpindah ke dalam gedung.
Persaudaraan Pedagang Pasar (SADAR) terbentuk pada tahun 2003 sebagai medium para pedagang menyatukan diri. Melalui organisasi tersebut, mereka melakukan berbagai aksi protes dan perlawanan jika terjadi penggusuran, termasuk bermusyawarah menyusun Rancangan Peraturan Daerah Tandingan dan mengajukannya ke Pemerintah Daerah. Meski kemudian diabaikan, dan PERDA Kota Makassar No.15 Tahun 2009 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, dan Penataan Pasar Moderen di Kota Makassar yang kemudian dikeluarkan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, namun SADAR dan para anggotanya mampu memberi kita perspektif berbeda tentang kehidupan Pasar Lokal, khususnya yang ada di Pasar Terong.
Tahun 2009, SADAR bersama Active Society Institute (AcSI) melakukan penelitian etnografi di Pasar Terong dan hasil penelitian mereka diterbitkan dalam buku berjudul Dunia Dalam Kota. Buku tersebut merekam denyut orang-orang yang menghidupkan Pasar Terong sebagai pasar terpenting di Sulawesi Selatan sekaligus jantung penyebaran bahan-bahan pangan untuk Indonesia Timur, hingga berbagai persoalan tentang betapa rumit kehidupan para pedagang sejak dihadapkan dengan kepungan bentuk-bentuk pasar yang baru. Buku terbitan Ininnawa tahun 2013 tersebut, juga memberi kita cara memandang Pasar Terong yang tidak sebatas proses perdagangan maupun bangunan fisik pasar. Namun, lebih dari itu, Pasar Terong adalah semesta yang di dalamnya berkelindan setiap aspek yang dimiliki oleh manusia dan kehidupannya.
*
Sepuluh tahun setelah penelitian bersama SADAR, tahun 2019 AcSI bekerja sama dengan CIPG dan VOICE kembali mengadakan penelitian untuk menyingkap lebih jauh persoalan pasar yang tidak sebatas interaksi perdagangan maupun perubahan bangunan fisik. Kali ini, penelitian berfokus pada perempuan pedagang sebagai pihak yang selama ini diabaikan dalam memandang Pasar Lokal.
Secara budaya, perempuan di Sulawesi Selatan bukanlah pencari nafkah utama, bila mereka melakukannya, itu karena terpaksa. Mereka yang memilih menjadi pedagang karena kebutuhan keluarga tidak dapat terpenuhi jika mereka hanya mengandalkan satu sumber pendapatan.
“Intinya begini, kalau para istri sudah turun ikut berdagang di pasar, itu membuktikan keluarga pedagang sudah benar-benar miskin. Bahkan itupun kadang masih sering kami kekurangan, susah pembeli sekarang,” jelas Ibu Sri, salah satu pedagang ayam potong di Pasar Terong, kepada tim saat presentasi hasil penelitian AcSI-Voice.
Sebagai perempuan yang awalnya bekerja di ranah domestik, beban kerja mereka menjadi lebih berat dan menyebabkan kemiskinan semakin dalam. Apalagi, bagi perempuan pedagang yang juga sebagai kepala keluarga. Sebanyak 68,14% dari 1020 pedagang di Pasar Terong adalah perempuan dan 22,73% sekaligus sebagai Kepala Keluarga.
Menjadi pedagang adalah pilihan satu-satunya. Capaian pendidikan yang mentok di level sekolah menengah, membuat mereka hanya mampu mengakses jenis pekerjaan di sektor informal yang tidak membutuhkan ijazah. Hampir semua pedagang perempuan (80,69%) di Pasar Terong tidak mencapai pendidikan tinggi. Jika sesuatu terjadi, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk segera mendapatkan pekerjaan lain.
Temuan lain penelitian ini juga memaparkan bahwa sebanyak 38,64% perempuan pedagang di Pasar Terong masih harus bekerja pada usia lanjut (46-65 tahun; Depkes RI 2009). Usia yang bagi masyarakat umum adalah saatnya untuk menikmati hasil usaha di kala muda.
Kerentanan Pedagang Di Pasar
Pasar sebagai tempat mereka mencari solusi atas kemiskinan, tidak menyediakan ruang penghidupan yang aman. Guncangan berupa penggusuran, kecenderungan semakin berkurangnya pembeli, serta semakin bertambahnya pedagang, terus membayangi.
Sebagai upaya meningkatkan peluang pendapatan dari barang yang dijual, sejumlah pedagang memilih menggelar lapakan pada bahu Jalan Terong. Mereka menyewa sepetak lahan di depan rumah warga atau toko. Akibatnya, akses jalan menjadi macet dan tidak teratur, sehingga mereka rentan mengalami penggusuran dalam bentuk ‘penertiban’ oleh pihak pengelola pasar.
Karena kemacetan dan tidak tersedianya lahan parkir yang memadai meluasnya tempat melapak, sebagian besar pembeli lebih memilih berbelanja di pinggir jalan, bukan di dalam bangunan pasar. Juga karena tidak tersedia tempat bersantai untuk para pengantar pembeli yang umumnya adalah suami untuk menunggu istrinya berbelanja di pasar, sehingga mereka harus merasa terburu-buru. Lagipula, berdesakan membuat mereka tidak nyaman, tidak membuat betah berlama-lama untuk berbelanja.
“Saya berdagang di Pasar Terong sudah sejak kecil, karena orang tuaku juga pedagang, kalau mau dibandingkan, masih mending 10 tahun lalu, pembeli dan pelanggan masih mau masuk ke dalam pasar cari kita. Sekarang pelanggan diambil semua sama pedagang di bagian depan, padahal itu yang bikin macet pasar. Kami pedagang lama, pasrah saja menunggu pembeli masuk, itupun kalau ada,” kata Dg.Nur pedagang senior di Pasar Terong yang mengaku telah beberapa kali mengganti jenis barang dagangan untuk bertahan hidup.
Menjamurnya gerai mini market sampai ke pemukiman warga dengan kebersihan dan pelayanan yang memadai juga menjadi salah satu faktor yang membuat pasar semakin sepi pembeli. Lalu pembangunan dan pengelolaan pasar yang abai pada kebutuhan pedagang, mengakibatkan banyak ruang di dalam gedung pasar berlantai 4 yang dibangun sejak tahun 1995 tidak terisi, bahkan lantai paling atas sama sekali tidak berpenghuni karena tidak sesuai dengan budaya berbelanja penduduk sekitar.
Dampak berbagai kerentanan tersebut bagi perempuan pedagang di Pasar Terong adalah menurunnya omset penjualan yang mengakibatkan menurunnya pendapatan dan tidak adanya jaminan keamanan penghidupan.
Strategi Menghadapi Kerentanan
Dampak yang dihasilkan oleh sejumlah kerentanan di Pasar Terong, memaksa para pedagang mengombinasikan serangkaian strategi untuk mengamankan penghidupannya dari risiko krisis.
Pertama, porsi pengeluaran yang lebih besar untuk makanan dihemat. 63,78% rumah tangga perempuan pedagang di Pasar Terong melakukan bentuk penghematan tersebut sambil menekan pengeluaran untuk jenis kebutuhan lain.
“Tiap pulang dari pasar, saya singgah di rumah anakku dulu untuk menumpang masak, nanti kalau sudah masak baru pulang ke rumah, supaya lebih hemat, sekalian untuk makan anak dan cucuku di rumahnya,” kata Dg.Rannu salah satu pedagang yang berusia 65 tahun dan masih tetap berjualan sejak suaminya meninggal, meski harus berjalan tertatih-tatih. 
Kedua, minimnya keuntungan penjualan berdampak pada semakin rendahnya sisa keuntungan yang mampu disisihkan. Sebanyak 61,36% perempuan pedagang tidak mampu menabung. Jika krisis melanda rumah tangga perempuan pedagang, hanya 34,09% di antara mereka yang memiliki tabungan, 63,64% berhutang, dan 2,27% menjual/menggadaikan aset.
Ketiga, terdapat 74,63% perempuan pedagang di Pasar Terong harus berhutang untuk keperluan modal usaha ditambah lagi dengan memberlakukan jam kerja yang panjang untuk mencapai target penghasilan yang diinginkan. Mereka berdagang mulai pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore, meski dengan jumlah penghasilan yang tidak menentu. Dua strategi tersebut, bertambah parah dengan fakta bahwa hanya 0,02% pedagang yang memiliki BPJS. Kesehatan tidak lagi menjadi prioritas utama bagi mereka, sebab biaya sehari-hari bahkan kadang tidak mencukupi.
Berbagai temuan di atas menjadi tanda bahwa PERDA Kota Makassar No.15 Tahun 2009 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, dan Penataan Pasar Moderen di Kota Makassar, payung hukum yang sepatutnya menjamin keberlangsungan dan kehidupan para pedagang tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Jika berbagai kerentanan tersebut diabaikan, berbagai strategi yang telah dilakukan mampu tumbuh menjadi bencana, ditambah berbagai ancaman yang bisa saja datang sewaktu-waktu.
Ironis, sebab berdagang adalah pekerjaan yang umumnya dianggap selalu menghasilkan uang, namun kenyataannya tidak. Para stakeholder harus segera mengambil sikap mengingat Pasar Terong adalah salah satu pasar yang menjadi muara pertemuan aliran komoditas dari 11 provinsi di Indonesia, bahkan sampai keluar negeri. Ada ribuan pekerja sektor informal yang saling terhubung satu sama lain mencari penghidupan di sana.
Eksistensi pasar lokal hidup dalam ruh ikatan sosial dan kultural sebagai elemen dasarnya, kita tidak menemukan hal serupa di minimarket, supermarket, mal, atau bentuk-bentuk pasar sejenis. Sembari menunggu tindakan dari pemerintah, sebagai masyarakat kita juga bisa membantu para pedagang dengan cara lebih sering berbelanja di pasar lokal. Mari berinteraksi, tawar menawar, saling bertukar kabar, mari Jappa Jappa Ri Pasara, sebab pasar adalah salah satu media sosial yang nyata.

*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Harian Fajar 9 Maret 2019
*Editor Arkil Akis
*Peneliti Muliyadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...