OMG Chriss Cornell dikabarkan meninggal dan nyaris semua teman-temanku yang usianya jauh di atasku, memposting fotonya dengan ungkapan bela sungkawa. Di grup pertemananku-pun membicarakannya, kenapa ia sampai meninggal dan lain-lain. Saya sedikit menoleh, mencari tahu sebentar sambil berpikir “kenapa sampai saya tak kenal orang ini?” Tapi saya menghibur diri dengan berpikir mungkin saat itu saya masih kecil, toko kaset di pasar kampungku hanya menjual rilisan fisik Rhoma Irama itupun bajakan, tak ada nama Chriss Cornell.
Selang beberapa hari saya membeli buku Pop Kosong Berbunyi Nyaring katya Taufiq Rahman. Sebenarnya beberapa tahun terakhir saya sendiri memutuskan untuk menahan diri tidak membeli buku lagi, karena nyaris semua buku yang ingin kubaca sudah ada di beberapa perpustakaan tempat saya berkegiatan. Dan sepertinya tidak pernah cukup waktu untuk membaca semua buku yang ingin kubaca karena selalu saja ada yang membuat saya kembali bertanya-tanya, lalu berujung mencari buku lain untuk mendapat jawaban dari pertanyaan itu. Sama hal-nya dengan musik, saya memutuskan menunda untuk melampiaskan hasrat belajar bermain musik, karena semakin hari semakin banyak rekomendasi musik bagus yang belum kudengar. Entah pilihan ini sudah benar atau saya saja yang suka cari-cari alasan hihihi...
Lalu apa yang membuat saya tertarik membeli buku ini? Apakah kamu pernah merasa menyesal setelah membeli sesuatu hanya karena tampilannya menarik dan hampir tiap hari kamu melihat orang lain memposting fotonya sehingga kamu jadi penasaran dan akhirnya ikut membeli? Itulah yang terjadi pada saya. Buku itu layak baca (apalagi bagi anak belakangan seperti saya) tapi tidak perlu dikoleksi. Saya memutuskan memberikannya kepada seorang teman setelah membacanya.
Meski begitu, rasa penyesalan saya tidak berlarut-larut karena tentu saja ada hal yang tinggal di kepalaku dan membuat saya tersenyum dari buku itu. Seperti pada tulisan Mencari Teman Untuk Akhir Zaman. Dari tulisan itu akhirnya saya tahu tentang Chriss Cornell itu siapa dan akhirnya mengerti kenapa banyak teman-teman “tua” ku yang suka padanya.
Selain itu saya juga menyukai tulisannya berjudul Rock is Dead, Long Live Jazz. Selama ini saya tidak begitu tertarik mendengar jazz, sebagai generasi milenial saya lebih memilih menghabiskan waktu lebih banyak mendengar musik digital. Tapi setelah membaca tulisan itu, saya penasaran.
Ada dua poin yang membuat saya penasaran dari tulisan tersebut:
Jika usia Anda sekarang mendekati 40 tahun dan benar-benar mencintai musik, hanya ada dua kemungkinan: Anda menyerah dan berhenti mendengarkan musik atau Anda berhenti mendengarkan musik populer dan secara eksklusif hanya mendengarkan jazz.
Bagi mereka yang tak ingin terjebak oleh skripturalisme agama atau bahkan tak mau lagi mempercayai apa pun yang ditawarkan oleh dogma, jazz bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada yang Esa dengan cara yang paling elegan dan khusyuk.
Di tengah rasa penasaran itulah, setelah menghabiskan buku Pop Kosong Berbunyi Nyaring, saya membaca novel Dawai Dawai Ajaib Frankie Presto karya Mitch Albom pemberian sahabatku, Aan. Ini salah satu buku yang sudah lama kutunda karena terlalu tebal. Dan tepat waktu, karena novel ini membahas banyak hal mengenai musik jazz.
Novel ini mengisahkan kehidupan Frankie Presto, namun dibuka dengan kisah pemakamannya terlebih dahulu. Ia adalah seorang gitaris hebat yang melalui 6 fase kehidupan seperti 6 dawai biru gitarnya. Kisah Frankie Presto diceritakan oleh Musik. Ia yang melihat Fankie lahir sampai meninggal, penuh lika-liku memilukan. Namun bukan hanya Frankie Presto, Musik juga banyak menyuguhkan perjalanan hidup orang lain, dan orang-orang itu nyata, para musisi jazz dan rock dari tahun 40-an sampai 60-an. Sepanjang Musik bercerita mengenai kehidupan Frankie Presto, novel ini juga disisipkan kisah-kisah mengenainya namun dari sudut pandang orang-orang terdekatnya, seolah ada wartawan yang meminta mereka satu-per satu bercerita mengenai Frankie Presto dan kenangan bersamanya sebelum proses pemakaman berlangsung.
Kisah ini mengharukan dan begitu dalam, Mitch Albom sangat pandai menuliskannya dan membuat emosi seperti dipermainkan, sama seperti karya-karyanya sebelumnya namun gaya menulisnya kali ini lebih unik. Saya suka cara ia menjelaskan secara detail mengenai musik, pemahaman tentang relasi musik dan kehidupan. Tentu saja karena selain penulis, Mitch Albom juga seorang musisi. Ia pemain piano dan membiayai kuliah jurnalistiknya dari hasil bekerja sebagai pemain piano.
Frankie Presto dilahirkan di sebuah gereja yang terbakar di Spanyol tahun 1936 di tengah perang sipil yang memanas. Ibunya hanya sempat menyanyikan sebuah lagu untuknya sebelum akhirnya meninggal. Sebuah lagu yang berarti air mata yang akan jadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Frankie selanjutnya. Frankie kemudian diasuh oleh seorang wanita tapi karena tak sanggup merawatnya, kemiskinan melanda akibat peperangan, Frankie kemudian dihanyutkan. Ia ditemukan oleh seorang pria bernama Baffa Rubio bersama seekor anjing. Baffa adalah pria yang bekerja di sebuah pabrik sarden. Mereka hidup bertiga, seperti sebuah band.
Saat kecil Frankie sudah memperlihatkan bakatnya pada musik. Baffa kemudian mencarikan guru musik untuknya. Sampai akhirnya Frankie diterima sebagai murid oleh El Maestro setelah Baffa memalsukan usia asli Frankie. El Maestro merupakan seorang gitaris handal namun buta saat melindungi iparnya di medan perang. El Maestro-lah yang memperkenalkan Frankie tentang cara memetik gitar dan keindahan dawai. Ia mengajar Frankie dengan cara keras. Frankie belajar banyak pada El Maestro, begitu juga sebaliknya. Kehadiran Frankie banyak memberi perubahan di kehidupan El Maestro.
Pada usia sembilan tahun, Frankie diselundupkan ke Amerika. Atas permintaan Baffa yang saat itu ditahan, ia meminta El Maestro mengirim Frankie ke sudara perempuannya di sana, agar ia aman. Sebelum berangkat, El Maestro membelikannya sebuah gitar dengan kualitas yang sangat bagus. El Maestro juga sempat meraba wajah Frankie. Dari situ, ada sebuah rahasia yang terkuak namun mereka tidak pernah bertemu lagi.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan “band”. Dengan satu atau cara lain, “band” itu pun bubar.
Kehidupan Frankie di Amerika penuh perjuangan, bayangkan seorang anak berusia 9 tahun dikirim sendirian ke negara yang ia tak pernah kunjungi sebelumnya. Meski butuh perjuangan, ia menemukan beberapa keberuntungan, seperti bertemu gitaris idolanya yang selama ini hanya ia dengar musiknya melalui piringan hitam dan idsang idola itu mengajaknya menjadi partner dan sekaligus menjadi guru barunya.
Saat akhirnya menemukan alamat saudara Baffa (walau ia mengira itu adalah ibunya karena pernah menemukan fotonya bersama Baffa) dan akhirnya saat bertemu ia langsung memeluknya. Namun ia diusir oleh suami wanita itu karena menganggapnya pengemis bahkan sebelum Frankie Presto menjelaskan siapa dia. Tidak ada tujuan. Frankie Presto memilih bertahan hidup dengan bermusik dan menjadi tenar. Ia bergabung dengan beberapa band, bergonta ganti.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan “band”. Adakalanya ban itu bukan band yang tepat.
Ah ya, sebelum ke Amerika, saat masih kecil Frankie sempat bertemu dan langsung jatuh cinta pada anak perempuan “gila” bernama Aurora York. Pertemuan itu meninggalkan kesan yang mendalam. Keduanya saling jatuh cinta, saling berharap, saling mencari. Takdir kemudian membuat mereka bertemu kembali dan menikah.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan “band”. Adakalanya mereka berjumpa lagi.
Tapi pernikahan mereka sempat tak berjalan mulus. Ketenaran membuat Frankie berubah dan sering mabuk-mabukan, ia lebih sering tidak sadarkan diri. Sampai Aurora harus kehilangan bayi yang dikandungnya karena sebuah kejadian nahas. Mereka memutuskan pindah, pergi dari hiruk pikuk Amerika. Hidup dengan sederhana. Orang-orang mulai mencarinya, terutama anak muda yang mengaguminya. Mereka mengadopsi seorang anak perempuan yang kemudian mewarisi bakat bermusik Frankie Presto. Meski kemudian Frankie mengalami kejadian pahit lainnya, seperti tidak ada habisnya, sampai tua.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan “band”. Beberapa diantaranya menghancurkan hatimu.
Di bagian akhir, Musik bercerita tentang sosok misterius yang mengungkapkan suatu fakta mencengangkan, tak lama Frankie Presto yang begitu banyak memberikan pengaruh kepada orang lain akhirnya meninggal setelah berduet dengan putrinya di atas panggung.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan “band”. Apa yang kau mainkan senantiasa memengaruhi orang lain.
Adakalanya hal itu memengaruhi dunia.
Begitulah isi novel Dawai Dawai Ajaib Frankie Presto. Selain tebal, novel ini membutuhkan waktu lama untuk kuhabiskan karena sembari membacanya saya harus selalu terhubung dengan internet untuk segera mencari lagu-lagu yang favorit Frankie Presto serta membaca profil musisi-musisi yang Musik sebutkan.
Beberapa musisi yang benar-benar Mitch Albom temui untuk membantunya mengisi bahan novel ini diantaranya Marcus Belgrave, Darlene Love, Burt Bacharach, Roger McGuinn, Lyle Lovett, Paul Stanley, Tonny Bennett, Wynton Marsalis, Ingrid Michaelson, John Pizzarelli.
Meski Frankie Presto hanya toko fiktif, namun saya selalu membayangkan ia adalah Frank Sinatra, anak perempuannya adalah Nancy Sinatra, serta El Maestro adalah Ray Charles. Tapi kupikir siapapun orangnya, pesan dari kisah hidupnya lah yang penting. Seperti apa pun agama dan keyakinannya, seruan kebaikannya-lah yang perlu diterapkan.
Oh ya, ada satu pertanyaan yang selalu mengusik Musik dalam novel ini, juga mengusikku: “Mengapa kalian manusia selalu saja saling mengurung. Di dalam sel atau ruang bawah tanah. Tidak ada makhluk hidup lain yang memiliki arogansi ini : mengurung sesamanya.” Ya... mengapa yah?
Setelah membaca buku ini, saya mencatat ada banyak list musik jazz untuk didengar. Dan menyadari ternyata semakin banyak lagu populer baru saat ini yang mengutip dan mencopot lirik-lirik musik jazz lama. Sungguh saat ini tak ada lagi yang baru. Kita benar-benar tiba pada era mendaur ulang semuanya. Apa benar hanya itu takdir untuk para generasi millenial?
Saya menanyai beberapa temanku yang berusia 40 tahun. Beberapa mengatakan penyataan Taufiq Rahman di atas benar bahkan salah satunya kini tertarik menjadi penyanyi jazz setelah lama bernyanyi reggae. Namun beberapa lagi mengatakan tidak, ia masih memilih mendengar musik rock dan punk dibanding jazz bahkan saat usianya tak muda lagi. Bagaimana dengan saya? Entahlah, harus menunggu 13 tahun lagi untuk membuktikannya, tapi sementara ini saya mulai menikmati beberapa sambil menerka-nerka bagaimana kehidupanku di usia 40 nantinya? Apakah usia hanya angka-angka? Atau kita yang egois tidak ingin menerima kenyataan?
Membaca novel Dawai Dawai Ajaib Frankie Presto seperti membaca sejarah musik jazz dan rock. Saya juga mencatat banyak poin-poin penting mengenai kehidupan yang disampaikan oleh Musik. Terlalu banyak, jadi sebaiknya kalian harus membacanya sendiri.
Komentar
Posting Komentar