Langsung ke konten utama

Oleh-Oleh dari House of the Unsilenced


Hai.

Tanggal 30 Juli sampai 3 Agustus 2018 kemarin saya ke Jakarta mengikuti kegiatan bernama House of the Unsilenced (Rumah Kami yang Tidak Bungkam). House of the Unsilenced adalah ajang seni yang mempertemukan seniman, penulis, dan penyintas kekerasan seksual untuk bersuara bersama seputar tema mulai bicara, tubuh dan suara, dan kehidupan penyintas.

Ajang seni ini bertempat di Jakarta dan adalah bagian dari Creative Freedom Festival 2018 yang diselenggarakan oleh Inter Sastra bekerja sama dengan Koalisi Seni serta beberapa Lembaga lainnya.
Saya bisa ikut berkat ajakan dari Eliza Vitri Handayani, pendiri Intersastra. Di sana saya juga bertemu teman yang sejak lama kukenal melalui dunia zine dan craft, Ika Vantiani. Ia menjadi kurator untuk kegiatan ini. Serta beberapa teman baru.

Ada beberapa rangkaian kegiatan seperti lokakarya membuat majalah/buku, decoupage, kolase 3D, penulisan fiksi, self care body movement, dan banyak lagi. Selengkapnya lihat akun Instagram @unsilenced_ atau FB House of Unsilenced saja yah.

Saya sangat banyak belajar selama lima hari itu. Selain workshop yang saya ikuti tentang menulis fiksi bersama Eliza serta menulis lirik lagu bersama Yacko. Lebih dari itu saya belajar tentang bagaimana mengelola kegiatan yang melibatkan penyintas kekerasan seksual, bagaimana berhadapan dengan orang baru dengan penderitaan yang sama dengan kita, bagaimana mendengarkan cerita.

Bagi saya, tentu kini cukup mudah mendapatkan materi workshop seperti menulis fiksi atau menulis lirik lagu di mana saja. Namun workshop khusus seperti ini, sepertinya baru pertama kali kudengar. Dan bisa terlibat langsung, membuat saya merasakan benar-benar perbedaannya, bahwa selain berupaya untuk pencegahan kekerasan seksual, hal yang tak kalah penting lainnya adalah memperhatikan korban. Memberikan medium untuk menyalurkan keresahan dan traumanya.

Workshop ini dilaksanakan di tempat tertutup dan para panitia berusaha keras untuk membuat kami para peserta merasa aman dan nyaman. Satu per satu kami mulai bercerita, beberapa menangis, tentu saja saya termasuk. Menulis fiksi menjadi salah satu medium yang saya pilih karena memang saya senang menulis, kedua saya baru saja belajar banyak tentang realitas fiksi pada pembahasan Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul Sapiens yang membuat saya sangat bersemangat untuk hidup.
Untuk materi penulisan, secara singkat saya tuliskan poin-poinnya saja yah:

1.       Satu minggu ini kita akan menulis cerita yang memberdayakan, yang membuat kita bahagia dan lega ketika dituliskan. Target kita akan membuat cerpen 1500 kata.
Contoh :
a.    Menulis pengandaian menjadi burung bisa terbang bebas.
b.    Bagaimana perasaan orang tua saya ketika tahu saya pernah mengalami kekerasan seksual.
c.    Bagaimana dunia ketika tidak ada lagi kekerasan.

2.       Beriku fondasi tulisan fiksi (kuasai aturan agar kita bisa melanggarnya dengan baik):
a.                   Tokoh
b.                   Alur : Kenapa hidup kita menarik? Karena kita berhasil melewati rintangan/kerumitan itu. 
c.                   Latar
d.                   Perspektif/Suara

3.       Cara membangun suasana agar menjadi hidup : menulis menggunakan indra (melihat, mencium, meraba, merasakan, mencecap, mendengar).

4.       Menggunakan metafora tujuannya bukan sekedar mempercantik tulisan tapi untuk mengungkapkan perasaan si penulis agar mudah diimajinasikan oleh pembaca :
a.                   pertanda waktu
b.                   adegan beda dengan penuturan
c.                   merasakan sedih dengan penggambaran tanpa harus mengatakan “sedang sedih”

5.       Membuat judul cobalah membuat 10 jenis sebelah.

Sekian oleh-oleh saya selama di Jakarta lima hari kemarin. Tentu saja selain itu saya banyak pengalaman, misalnya mengunjungi beberapa pameran seni dan menghabiskan malam begadang sama teman-temanku para perantau yang bekerja di Jakarta di depan Taman Ismail Marzuki sambil minum abidin. Sungguh sangat menyenangkan.
Cerpen hasil workshop saya ada di link ini :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...