Pilihan Mengurangi Makan Produk Hewan Sama Seperti Pilihan Mengurangi G* Sintetis Karena G* Asli Memang Lebih Enak!
(Untuk Pena Hitam Fanzine Edisi 7)
Tulisan ini bukan untuk menganjurkan kamu menjadi vegetarian. Percayalah!
Meski hidup di desa, saya dibesarkan dengan cara modern dan alhasil saya tumbuh menjadi generasi yang malas, suka mencari-cari alasan dan pembenaran, mau serba praktis, tidak suka bekerja secara kolektif (waktu remaja saya paling tidak suka jika diminta ke tetangga yang akan menikah dan membantu masak-masak), dan narsis: generasi millenial. Saya tidak menyangkal itu tapi untuk mencari jawaban atas pertanyaan, saya berusaha untuk tidak malas.
Tiba di kota, bukannya langsung menemukan jawaban, yang ada kemarahan saya semakin menjadi-jadi karena ada banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya. Mengapa kehidupan di kota sekacau ini? Mungkin kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi saya tidak tahu melampiaskan kemarahan, saya selalu memilih diam dan menyimak kemudian mengambil kesimpulan sendiri, lalu mengambil tindakan sendiri. Lebih tepatnya menyelamatkan diri sendiri.
Kemudian saya mengikuti saran-saran para orang yang lebih tua dari saya, mencari jawaban atas pertanyaan saya melalui zine, buku, musik, dan film. Apakah itu membantu? Ya, beberapa pertanyaan saya terjawab. Tapi selalu ada pertanyaan baru yang muncul. Dan saya mulai kelelahan mempertanyakan sesuatu serta mencari jawabannya. Bisakah saya pura-pura berhenti bertanya saja? Bagaimana caranya menghapus memori mengenai pertanyaan ini? Bahkan keluhanku pun masih berbentuk pertanyaan. Kupikir tidak ada gunanya hidup dilanjutkan, toh saat ini kita menuju pada kehancuran. Tidak ada harapan!
Kemudian saya menemukan teman-teman yang juga merasakan keresahan mengenai hal yang sama. Saya memilih untuk berada di sekitar orang-orang yang resah dan mempertanyakan sesuatu menjadi hal yang membuatnya ingin terus hidup. Paling tidak itu juga mempengaruhi saya untuk ingin terus hidup, karena saya belum cukup berani untuk bunuh diri.
Saya harus bersabar sambil tetap menjalani kegiatan yang benar-benar saya sukai, untuk menemukan lagi jawaban-jawaban dari pertanyaan mengenai kehidupan ini. Tak jarang saya menemukan kejutan dan itu membuat saya semakin percaya masih ada kejutan lain, lebih besar di depan sana. Mungkin belum tertuliskan atau sudah pernah tertuliskan namun dalam bentuk dan kemasan yang berbeda.
Salah satu kejutan yang kudapatkan ketika saya mengikuti Klub Buku dengan tema Konsumerisme dan Budaya Pop. Awalnya saya tidak begitu tertarik, toh saya sudah tahu ujung dari semua ini sejak jaman sering ikut diskusi saat mahasiswa baru. Bahwa kapitalisme itu buruk, kita harus melakukan sesuatu, dan karena saya terlanjur kecewa pada banyak orang sebelumnya yang menyalakan api lalu pergi begitu saja saya menjadi ikut-ikutan tak acuh.
Entah karena sedang tak ada kegiatan yang penting atau ingin membuat teman yang mengajak saya senang, saya akhirnya ikut juga. Saya mendapat bagian membaca 2 buku untuk dibaca dan dipresentasekan. Pertama berjudul Negeri Fast Food karya Eric Schlosser, kedua Dangerous Junk Food karya Reni Wulan Sari.
Dua buku ini membuat saya yang tadinya malas makan fast food karena sekedar alasan politis, akhirnya membuat saya tambah malas karena alasan mual, meski sesekali masih tergiur untuk mencicipi jika dapat gratisan. Tapi jika membayangkan proses pembuatan dan alasan mengapa fast food terasa jauh lebih enak, saya mual lagi. Eric Schlosser berhasil menjelaskan secara detail dan tentu saja berdasarkan fakta mengenai fast food.
Tak lama saya direkomendasikan membaca buku Pangan : Dari Penindasan sampai ke Ketahanan Pangan karya Susan George. Faktanya banyak peperangan terjadi yang disebabkan karena makanan. Buku ini membuat saya punya alasan untuk belajar masak sendiri, sebelum-sebelumnya saya selalu menomor duakan masak sendiri karena alasan nomor satu saya adalah malas namun kukemas dengan alasan ada hal lebih penting yang harus kukerjakan.
Apakah jawaban pertanyaan saya sudah terjawab semua? Belum juga.
Tahun lalu saya ikut satu program penelitian desa, kami ditempatkan di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota dan sinyal internet. Kupikir akan bisa menemukan banyak jawaban di sana.
Tapi saya salah. Realitas kehidupan masyarakat tradisional yang bersahaja, penuh daya hidup, spontan, kreatif, indah, bijak, dan damai seperti para nelayan dan petani sudah tidak ada lagi. Kehidupan modern pun mulai mengakar di sana. Anak muda di desa, mereka juga ingin yang praktis (karena mereka mendambakan mesin pertanian yang boros bahan bakar serta pupuk kimia agar pekerjaan bertani lebih mudah), suka mencari-cari alasan dan pembenaran, dan narsis sama seperti saya. Bedanya mereka masih susah dalam dalam hal mengakses informasi. Dan itu lebih membahayakan.
Bukannya tenang, saya malah tambah pusing dan menyadari kenapa kebanyakan orang akhirnya memilih mendengar apa yang para juru selamat sampaikan. Mungkin karena mereka lelah mencari jawaban sedangkan realitas kehidupan tambah kacau saja. Tapi saya tidak ingin berhenti sampai di sini, saya tidak ingin pasrah menunggu juru selamat selanjutnya.
Di tengah kepusingan saya, ada kejutan baru lagi. Saya diajak oleh pasangan saya menonton 3 film dokumenter: The Sugar Film, Cowspiracy: The Sustainability Secret, dan Racing Extinction. Tiga film itu membuat saya kembali bersemangat dan punya harapan hidup. Bahwa semakin hari semakin banyak orang yang “tercerahkan” dengan cara yang berbeda dan ingin melakukan sesuatu untuk mengubah hal-hal yang mereka tidak sukai dan demi keberlanjutan kehidupan di bumi, bukan hanya manusia tapi makhluk-makhluk lain yang sudah ada jauh sebelum manusia hadir.
Lalu kejutan lain muncul lagi. Saat itu saya dan pasangan sedang berjalan-jalan ke toko buku. Kami mengincar buku diskon. Saya melihat buku berjudul Eating Animals ditulis oleh Jonathan Safran Foer. Awalnya saya tertarik, tapi melihat judulnya saja saya sudah khawatir buku ini akan membuat saya tambah malas makan. Maksudku, cukuplah saya memilih tidak makan fast food, jika harus berhenti makan daging, saya tidak siap, saya tidak rela. Tapi ternyata pasangan saya yang membeli buku itu.
Selama berbulan-bulan saya tidak ingin membacanya, alasanku ada banyak buku lain yang harus kuselesaikan. Seorang teman datang meminjamnya, awalnya ia juga berpikiran yang sama dengan saya, tapi pasangan saya memberikan jaminan bahwa tulisan Jonathan Safran Foer tidak seperti yang kita duga.
Akhirnya buku itu dikembalikan, saat kutanya bagaimana? Dia bilang bagus dan merekomendasikannya untuk kubaca. Well, saya pun membacanya, walau awalnya tidak begitu bersemangat karena sangat tebal.
Dan ternyata benar, buku ini bagus, mulai dari gaya penulisan sampai pada isinya. Jonathan mengemas hasil penelitiannya menjadi buku yang sangat enak untuk dibaca dan membuat saya berpikir jauh lebih dalam bukan hanya mengenai makanan, tapi mengenai semua pertanyaan-pertanyaan saya akan kekacauan di kehidupan manusia yang saling terkait satu sama lain. Mengenai penyakit aneh yang bermunculan, mengenai industri, mengenai masa depan, mengenai gender, mengenai perang, mengenai kehancuran bumi, dan kekacauan lainnya. Ia membuat saya memikirkan semua itu hanya dari sebuah pertanyaan sederhana: masih perlukah kita memakan daging hewan?
Bukunya banyak mengkritik tentang perlakuan peternakan pabrik terhadap hewan ternak yang kita santap di piring kita.
Inti yang kita diharapkan oleh kita semua adalah kehidupan baik dan kematian yang mudah. Begitu juga sebaiknya kita memperlakukan hewan. Peternakan pabrik saat ini bukan salah karena memproduksi daging melainkan karena mereka mencabut kebahagiaan hewan. Apakah penting memikirkan kebahagiaan hewan? Tentu saja, karena kita mengambil kehidupan mereka demi makanan, maka mereka layak mendapat kenikmatan-kenikmatan dasar dalam hidup seperti berbaring, berjemur, kawin, dan memelihara anak.
Peternakan pabrik yang mengasilkan daging beku dan daging olahan seperti sosis itu melulu urusan uang. Itulah alasan sistem peternakan pabrik akan runtuh dan tak bisa terus berjalan untuk jangka panjang. Sistem itu menciptakan industri pangan yang tujuan utamanya bukan memberi makan orang tapi hanya untuk mendapatkan untung.
Jonathan banyak memaparkan mengenai praktik-praktik penyembelihan sapi yang amat mengerikan, bacok, potong, gergaji, tusuk, iris, dikuliti hidup-hidup di peternakan pabrik Amerika sana. Belum lagi para pekerjanya yang semakin teralienasi. Namun industri daging tahu bahwa bila makin banyak orang yang tahu mengenai apa yang terjadi di tempat penyembelihan, orang akan cenderung makan lebih sedikit daging.
Jika kita tak diberi pilihan hidup tanpa kekerasan, maka kita diberi pilihan memilih makanan dari panen atau pembantaian, pemeliharaan atau perang. Kita telah memilih pembantaian dan perang jika masih memilih makan daging peternakan pabrik. Itulah versi terbenar kisah makan hewan kita. Bisakah kita ceritakan kisah baru? Dan harus seberapa sering kekejaman terjadi sehingga orang biasa jadi tak mampu mengabaikannya?
Oke apa yang ditulis Jonathan memang hasil penelitian di Amerika sana, tapi lambat laun akan terjadi juga di sini. Memang saat ini, di Indonesia kita masih mudah menemukan daging segar bukan dari peternakan pabrik. Tapi faktanya, peternak di desa juga sudah mendambakan hal-hal praktis seperti inseminasi buatan untuk sapi dan lebih banyak yang melirik ayam broiler yang tumbuh dan siap makan hanya dengan waktu 4-5 minggu. Dan keduanya akan tergiring pada standar peternakan pabrik.
Semua ini membuktikan, sekali lagi, bahwa negara gagal melindungi kita. Semestinya kita tidak perlu mendapat pilihan : bahan makanan praktis, murah, dan mudah didapat namun kaya akan pengaruh kimia sintetis atau makanan segar yang menyehatkan. Tentu satu-satunya hak kita adalah mengakses bahan makanan yang segar dan menyehatkan. Tapi kita tahu siapa yang menghalangi semua itu agar bisa meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Dan jika kita mau serius mengakhir peternakan pabrik, maka sekecil-kecilnya usaha kita adalah berhenti memberi uang kepada yang paling parah menyiksa. Untuk sebagian orang, keputusan ini mungkin mudah, namun ada juga yang merasa keputusan ini berat (bagi saya juga). Namun pertanyaan pamungkasnya adalah apakah ketidakpraktisan adalah harga yang layak? Saya bukan bermaksud mengajak kamu kembali ke cara-cara tradisional dan menolak segala hal modern. Seperti kata Jared Diamond pada bab penutup di buku The World Until Yesterday bahwa sebagian yang diajarkan dunia kemarin kepada kita adalah untuk bersyukur atas masyarakat-masyarakat modern kita, tidak menjelek-jelekkannya secara hantam-kromo.
Setidaknya kita tahu bahwa keputusan itu akan membantu mencegah penggundulan hutan, memperlambat pemanasan global, mengurangi polusi, melesatarikan cadangan minyak, mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia, memperbaiki kesehatan masyarakat, dan membantu menyingkirkan penyiksaan terhadap hewan yang paling sistematis sepanjang sejarah manusia. Sukar menolak bahwa pilihan sehari-hari kita bisa membentuk dunia.
Kita tidak bisa mengaku tak tahu, hanya bisa mengaku tak peduli. Sebagai generasi milenial saya dan mungkin kamu, kita punya beban dan kesempatan karena hidup pada saat kritik terhadap pabrik peternakan, serta pabrik lainnya telah masuk dalam kesadaran populer. Kita hanya perlu mempraktekkannya dimulai dari diri sendiri dan menyebarkan idenya lagi, lagi, dan lagi.
Kata Jonathan, alasan terbaik untuk menganggap bahwa masa depan yang lebih baik itu bisa saja ada, adalah fakta bahwa kita tak seburuk apa masa depan kita.
Karena pada akhirnya generasi kita mungkin tidak lagi menciptakan hal yang benar-benar baru. Tapi bagaimana dengan menyanyikan lagu lama dengan suara yang berbeda? Mengenai pengendalian diri dari keserakahan karena menginginkan sesuatu secara berlebihan?
Hidup adalah pilihan. Saya memilih makan daging segar dari hewan yang dirawat, disembelih, dan diolah orang tuaku misalnya, daripada memakan sosis yang mudah ditemukan di supermarket dengan harga murah. Itu akan menjadi urusan saya dengan tubuh saya. Seperti hal nya pilihan buah segar yang mudah ditemukan di pasar tradisional atau buah kaleng dengan bahan pengawet. Sama halnya juga jika dihadapkan pilihan mau ganja sintetis atau ganja asli? Tentu saya memilih ganja natural yang jauh lebih enak walaupun sulit menemukannya dan ya itu melanggar hukum.
5 buku dan 3 film yang kusebutkan tadi hanya sebagian dari kejutan-kejutan yang telah ada namun baru kutemukan untuk membuat saya semakin memaknai hidupku terutama cara pandangku mengenai makanan yang bisa berhubungan dengan banyak hal.
Kejutan yang membuat saya mampu mengolah energi negatif atas kemarahan-kemarahan menjadi energi positif yang bisa kugunakan untuk melakukan sesuatu, seperti yang kulakukan sekarang: menulis. Meski saya tidak ingin benar-benar menghilangkan kemarahan itu karena ia kubutuhkan sebagai pengingat.
Saya tak sabar bertemu kejutan lainnya yang membuat saya merasa semakin kuat dengan pilihan hidup saya saat ini. Berbahagia dan melakukan “sesuatu” dengan teman-teman tersayang yang tetap menjaga kewarasannya dengan tetap mempertanyakan segala sesuatu, terutama yang sudah dianggap benar.
PS : Saya baru menyelesaikan buku Eating Animals itu beberapa menit sebelum memulai tulisan ini. Jadi saya berterima kasih sudah diajak menulis karena akhirnya ada alasan saya bisa menyelesaikan buku itu. Ya begitulah generasi millenial, mau menyelesaikan buku bacaan saja harus cari-cari alasan dulu hahaha...
*Sekarang sudah tahu kan penyebab saya tambah kurus?
*Sekarang sudah tahu kan penyebab saya tambah kurus?
*
Komentar
Posting Komentar