Tulisan ini lama tersimpan sebagai draft,
mestinya kuselesaikan beberapa hari setelah lebaran kemarin.
Baik. Jawabannya
adalah melegakan sekaligus melelahkan.
Mestinya keputusan
ini kulakukan beberapa bulan sejak meninggalkan pengajian saat mahasiswa baru,
tapi waktu itu saya terlalu penakut. Saya selalu khawatir terhadap apa yang
orang lain pikirkan mengenai saya. Siapa yang ingin dianggap buruk? Saya tidak
ingin, saat itu.
Melegakan karena
akhirnya saya berani melawan ketakutan-ketakutan itu. Saya berusaha tidak
peduli apapun yang orang lain pikirkan tentang saya.
Intinya saya
hanya ingin mengurangi kamuflase dalam menjalani kehidupanku. Saya memiliki
kehendak bebas. Dan persoalan agama? Saya sangat ingin jujur bahwa seandainya
saya tidak berada di negara yang mewajibkan memeluk satu agama, saya ingin
memilih tidak beragama. Kenapa? Karena pada akhirnya saya menyadari bahwa agama
adalah salah satu tatanan khayalan yang bertujuan untuk melanggengkan suatu kekuasaan imperium, sejarah yang memperlihatkan itu.
Namun saya juga mengerti bahwa tidak ada jalan keluar untuk benar-benar bebas dari tatanan khayalan ini, ketika kita
merubuhkan dinding-dinding penjara kita dan berlari menuju kebebasan, kita
sebenarnya berlari ke halaman luas penjara yang lebih besar. Kupikir sedikit kebebasan lebih baik daripada tidak sama sekali.
Saya tidak ingin
terlalu lama terjebak dalam perdebatan mengenai surga dan neraka di saat bersamaan tidak ingin memaksakan orang lain berpikir sama dengan saya.
Bukan itu yang menjadi tujuan utamaku saat ini, ada masalah sosial lebih besar yang selalu kupikirkan dan rasanya lebih penting memikirkan itu. Saya lebih senang membicarakan hal ini secara langsung daripada menuliskannya karena hal ini berdasarkan pengalaman panjang saya sebenarnya (makanya saya lebih senang jika ada yang datang ke perpustakaan katakerja dan mengajak ngobrol langsung tentang pilihan-pilihan hidup saya).
Bukan itu yang menjadi tujuan utamaku saat ini, ada masalah sosial lebih besar yang selalu kupikirkan dan rasanya lebih penting memikirkan itu. Saya lebih senang membicarakan hal ini secara langsung daripada menuliskannya karena hal ini berdasarkan pengalaman panjang saya sebenarnya (makanya saya lebih senang jika ada yang datang ke perpustakaan katakerja dan mengajak ngobrol langsung tentang pilihan-pilihan hidup saya).
Pada akhirnya
saya mengaku kelelahan menghadapi semua ini, satu-satunya yang membuat saya bersemangat
bahwa menyadari ada banyak teman-teman terdekatku yang kucintai dan sepamahaman
denganku di tengah masyarakat yang jahat dan melanggengkan ketidaktahuan mereka
dan sibuk mengurusi moralitas individu. Saya lega karena telah mengambil
keputusan ini dan tidak lagi peduli dianggap buruk oleh orang lain yang tidak mengenal
saya secara personal, termasuk keluarga.
Satu momen
paling menggelikan adalah ketika saya pulang kampung pertama kalinya berlebaran
dengan keluarga besar saya. Semua heran dengan perubahan drastis saya yang saat
SMA menggunakan jilbab besar dan kini tidak menggunakan jilbab sama sekali.
Salah seorang sepupuku yang kurawat sejak kecil dan kini sudah SMA, menanyakan
pada saya tentang alasan saya melepas jilbab. Saat saya mencoba berdalih bahwa
sebenarnya agama adalah interpretasi untuk panduan menjalani hidup, penafsir Alquran bukan hanya satu, ada
banyak! Dan semestinya hal itu yang membuat kita berbangga karena ada keberagaman
pemikiran. Saya bilang memilih mengikuti interpretasi yang menyatakan
bahwa jilbab hukumnya tidak wajib meski dia cukup kecewa dengan itu. Sesungguhnya
saya bisa saja mengajak adik sepupuku berdiskusi panjang lebar mengenai hal
itu, namun saya mengurungkan niat karena kupikir saat berusia seperti dia dulu
saya juga senang menghakimi orang lain yang berpandangan berbeda dengan saya
yang merasa sangat benar dalam pemahaman agama (yang sebenarnya tidak seberapa
itu).
Saya juga hanya bisa tersenyum ketika ada orang yang dengan mudahnya mengatakan “ayo, hijrah!” seolah-olah hijrah adalah hal mudah, semudah membeli selembar kain di pasar.
Semoga suatu
hari dia mengerti sama hal-nya dengan anda yang sedang membaca curhatan saya
ini. Bahwa intoleransi lah yang lebih menyeramkan dan salah satu penyebab kesemrawutan
kehidupan ini. Tapi bukankan hidup memang rumit? Ya begitulah…
Semoga kita bisa
berdamai dengan perbedaan pemahaman ini. Mwahhh…
Komentar
Posting Komentar