Langsung ke konten utama

FANTASI NANCY (INGIN KURAIH TELINGAMU)


Seseorang pernah mengatakan lebih mudah hidup dengan fantasi karena fantasi memberi makna pada penderitaan. Maka dari itu Nancy memilih mengurung dirinya di sebuah perpustakaan sebab ia merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi selain fantasi. Sejak usia 20 tahun Nancy memilih karir sebagai pustakawan agar ia bisa selalu dikelilingi oleh kisah-kisah yang tak akan ada habisnya dan tak perlu bertemu manusia lagi.

Perpustakaan tempat Nancy bekerja, melayani peminjaman buku hingga pukul 10 malam untuk mahasiswa. Suatu malam Nancy sedang menghitung jumlah buku yang belum dikembalikan bulan itu ketika seorang lelaki tiba-tiba datang menyapa.

“Saya sedang mencari buku tentang seni.”
“Seni sangat luas kak, beritahu lebih detail agar saya lebih mudah mencarinya.”
“Saya sebenarnya juga masih bingung, saya sedang buntu mengerjakan tugas akhirku untuk membuat sebuah lagu. Dosen pembimbing menantang saya menulis lagu-lagu berbahasa Indonesia dan saya kebingungan memulainya dari mana.”
“Oh, kalau begitu sebaiknya kau membaca buku-buku puisi sebagai referensi.”
“Baiklah, kamu ada saran?”
“Mari kutunjukkan.”

Begitulah awal pertemuan Nancy dengan lelaki itu. Ia selalu datang, membaca di tempat, dan tidak pernah meminjam buku, sehingga Nancy tidak memiliki alasan menanyakan namanya. Setelah Nancy menunjukkan rak buku puisi padanya, lelaki itu langsung menuju ke sana setiap kali ia datang. Ia memilih beberapa buku, kemudian membawanya ke tempat duduk di salah satu sudut perpustakaan. Diam-diam Nancy selalu memperhatikan lelaki itu dari meja jaganya. Nancy senang karena buku-buku yang ia pilih tentang elegi, yang juga merupakan jenis puisi favoritnya.

Lelaki itu bisa duduk membaca selama berjam-jam tanpa beranjak. Sesekali ia bangkit dan berjalan mengambil air minum yang tersedia di samping meja jaga sambil melempar senyum pada Nancy. Gadis itu selalu berharap bisa menyapanya namun ia ragu itu akan membuat lelaki itu terganggu, lagipula ia khawatir akan dianggap agresif.

Nancy selalu terpana melihat lelaki itu membuka satu demi satu lembaran buku. Ia mulai dengan meraba sisi kanan buku dari bawah sampai atas menggunakan jari telunjuk lalu saat tiba di ujung kanan lembaran buku yang ingin ia buka, terlebih dahulu ia menarik nafas dalam-dalam kemudian membalikkan lembaran yang telah ia baca tersebut. Sambil membaca, jari telunjuknya tak henti meraba sisi kanan buku hingga akhirnya siap membalik lembaran selanjutnya. Ia melakukan itu terus menerus, membuat Nancy selalu membayangkan dirinya menjadi buku puisi yang dibaca lelaki itu. Hal itu membuat jantung Nancy berdegub kencang. Ia juga merasakan aliran darah di punggungnya tiba-tiba mengalir deras dari bawah ke atas, setelah itu ia merasa sangat senang dan mampu membuatnya tersenyum berhari-hari.

Beberapa kali Nancy mencoba memperhatikan cara pengunjung lain membuka lembaran kertas sebagai perbandingan, namun perasaan seperti itu tidak pernah ia temukan. Semua pengunjung perpustakaan yang ia amati selalu membaca tergesa-gesa. Mereka membuka lembaran demi lembaran dengan sangat kasar, seperti tamparan ayahnya kepada ibunya setiap kali mereka bertengkar.

Sesekali Nancy beranjak dari meja jaganya dan berdiri di balik rak buku yang tak jauh dari tempat duduk lelaki itu, hanya untuk melihatnya lebih dekat melalui celah rak. Gadis itu senang berpura-pura membersihkan rak itu untuk mengamati dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Ia selalu berfantasi menggenggam tangannya yang besar, tenggelam dalam pelukannya yang memiliki bahu lebar, dan mencium bibirnya sambil jinjit sedangkan lelaki itu membungkuk. Membayangkan hal itu menjadi ritual pengantar tidur Nancy. Tak jarang lelaki itu berhasil masuk ke dalam mimpinya, dalam mimpi ia bebas melakukan apa saja dengannya, segala hal-hal romatis seperti dalam film-film drama. Mereka makan gulali kemudian berciuman, naik komedi putar sambil berciuman, menggelar tikar dan piknik kemudian berciuman, berbaring di rerumputan sambil menatap bintang kemudian bercinta.

Suatu hari Nancy mendekati lelaki itu saat sedang berdiri mengamati rak buku puisi.

“Jika boleh kurekomendasikan, buku puisi ini mungkin cocok untuk bahan tugas akhirmu juga,” kata Nancy sambil menyerahkan satu buku puisi tebal. Buku itu adalah perpaduan puisi elegi dan romansa. Nancy sedang mencoba mengungkapkan isi hatinya kepadanya dengan cara seperti itu.
“Wah, saya juga menyukai penulis buku ini. Terima kasih ya, kamu sangat membantu.”

Nancy hanya membalasnya sambil tersenyum. Setelah itu Nancy kembali ke meja jaganya dengan sangat gugup. Setiap hari Nancy lalu menyambut kedatangan lelaki itu dengan memberikan buku rekomendasi baru untuknya. Dan si lelaki benar-benar membacanya di sana hingga akhir sampai mendapat rekomendasi baru dari Nancy. Nancy senang karena lelaki itu seperti mengapresiasi usahanya, beberapa kali lelaki itu membawakan segelas kopi untuknya sambil tersenyum lalu kembali membaca buku pilihan Nancy.

Pada bulan kedua sejak pertemuan pertama Nancy dengan lelaki itu, ia memutuskan akan mengajaknya berkenalan. Nancy jatuh cinta pada lelaki yang memilih buku puisi elegi itu, ia berharap bisa berbagi banyak kisah tentang kepahitan dan merubahnya menjadi kenikmatan bersama. Nancy ingin mewujudkan semua fantasinya menjadi nyata. Meski seumur hidup Nancy selalu merasa kesulitan berkenalan dengan orang baru. Ia selalu gugup karena merasa kesulitan menyampaikan apa yang ia pikirkan kepada orang lain sehingga ia memilih tidak memulai percakapan sama sekali dengan orang baru. Namun kali ini ia akan berupaya.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, Nancy telebih dahulu berdandan sebelum merapikan rak-rak buku dan membuka pintu perpustakaan. Ia juga telah menyiapkan beberapa kalimat ajakan untuk ngobrol bersama lelaki itu.

Sambil mengerjakan katalog buku baru, sesekali ia menengok ke pintu berharap lelaki itu datang lebih cepat. Saat jam istirahat tiba, ia memutuskan tak beranjak dari meja jaga dan menahan lapar, ia mulai gelisah. Begitu pula ketika jam pergantian jaga, ia menawarkan kepada pustakawan yang menjaga selanjutnya untuk kali ini tak perlu menggantikannya. Namun hingga tiba jadwal tutup, lelaki itu tak muncul. Ia pulang ke rumah dan mencoba membesarkan hati bahwa masih ada besok.
Keesokan harinya lelaki itu pun tak menampakkan diri. Sebulan, dua bulan, sampai setahun berlalu Nancy mulai putus asa. Nancy menyalahkan dirinya karena tidak berani mengajak lelaki itu berkenalan sejak awal. Hal itu mempengaruhi suasana hati Nancy, ia malas-malasan bekerja dan merasa bosan. Lambat laun Nancy merasa semakin sulit mengkhayalkan kembali momen membuka lembaran buku yang mampu membuat jantungnya berdegub kencang itu. Ia selalu menangis tiap kali ia gagal mengkhayalkan kembali lelaki itu. Hingga suatu hari pemimpin perpustakaan memanggil Nancy ke ruangan kantornya.

“Silahkan duduk Nancy.”
“Terima kasih Pak Aldi. Ada apa yah Pak?”
“Nancy, maafkan saya sepertinya selama ini terlalu fokus mengurusi diri saya sendiri. Kau tahu kan saya punya keluarga, anak-anakku sudah bersekolah jadi saya sangat sibuk. Tadi pagi saya mendapat keluhan dari tiga pustakawan lain tentang kebiasaanmu tiba-tiba menangis beberapa bulan terakhir, hal itu membuat mereka tidak nyaman.”
“Saya sebenarnya tidak tahu pada bagian apa menangis itu membuat mereka tidak nyaman? Toh ketika ingin menangis saya memilih duduk di samping rak buku yang paling jarang dikunjungi orang lain Pak.”
“Tentu saja karena mereka ingin berempati, mereka ingin membantumu agar tidak terus-terusan bersedih namun kau tidak menceritakan hal itu kepada mereka. Mereka merasa tidak berguna sebagai temanmu. Mereka ingin kau tersenyum lagi, berbahagia.”
“Oke. Mereka hanya ingin melihat saya tersenyum agar bisa merasa nyaman?”
“Bukan seperti itu.”
“Lalu apa? Mereka tidak akan pernah bisa memahami apa yang ada di kepala saya. Jika saya menceritakan penderitaan saya, saya yakin mereka sekedar tahu namun tidak bisa membantu saya keluar dari penderitaan ini.”
“Bagaimana bisa kau yakin jika kau belum pernah mencobanya?”
“Saya sudah pernah mencobanya Pak! Saya menceritakan salah satu dari mereka dan dia bilang saya kurang hiburan dan bergaul sehingga menjadi aneh. Itu tidak membantu sama sekali. Saran semacam itu pun tak kubutuhkan, hanya saya yang tahu persis apa yang saya butuhkan. Tolong jangan memaksa saya. Justru anda yang membuat saya tidak nyaman sekarang.”
“Maafkan saya. Sesungguhnya saya juga penasaran pada ceritamu, jika kau memberi saya kesempatan mendengarnya, mungkin saya bisa membantumu.”
“Mengapa Bapak yakin bisa membantu saya?”
“Karena saya jauh lebih tua darimu, mungkin.”
“Maka dari itu saya membenci orang tua yang merasa sudah tahu banyak hal seperti anda.”
“Nancy, kau mulai berbuat tidak sopan.”
“See? Bahkan Bapak tidak terima jika saya mengatakan saya membenci orang tua yang sok tahu.”
“Apakah kau pernah mendengar ungkapan bahwa jangan membenci hal yang tidak kamu tahu.”
“Ya. Makanya saya bilang Bapak tidak akan bisa menolong saya sebab penderitaan Bapak mungkin lebih besar daripada penderitaan yang saya alami. Lalu membuat saya merasa lebih baik karena penderitaan saya ternyata tak seberapa, maka dari itu saya tidak mau tahu tentang penderitaan Bapak!” suara Nancy mulai meninggi.
“Bagaimana bisa kau menjadi seperti ini Nancy? Mengapa hidupmu dipenuhi kemuraman seperti itu? Kau benar-benar berubah. Saat pertama kali kau mendaftar bekerja di sini, saya menerimamu karena saya melihat kau sangat aktif penuh semangat nan ramah. Di mana semua itu?”
“Saya akan tetap ramah pada pengunjung Pak. Saya janji!”
“Bukan seperti itu. Saya ingin melihat kamu ceria kembali, berbahagia, dan tak sedih lagi.”
“Beginilah diriku saat ini Pak. Tapi apakah Bapak pernah mendengar keluhan tentang keterlambatan kerja saya? Saya selalu berusaha mengerjakan semua tugas saya tepat waktu. Jika Bapak masih kurang puas, Bapak ganti saja saya dengan mesin,” Nancy mulai ketus dan memalingkan wajahnya.
“Ada apa denganmu Nancy? Jika kau terus-terusan begini, saya juga sedih. Kau bisa menulari aura negatif pada kami semua.”
“Maafkan saya Pak. Saya tidak bermaksud membuat Bapak bersedih hanya karena merasa gagal dalam membantu saya. Dan saya tahu, Bapak tidak bisa seolah-olah menganggap saya tidak ada jika saya bersikeras menolak bercerita tentang penderitaan yang saya alami. Sebab saya tahu secara alamiah seseorang selalu penasaran dengan kehidupan orang lain. Bahasa kita yang unik ini berevolusi sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia namun informasi paling penting disampaikan adalah tentang manusia, bukan hewan. Bahasa kita berevolusi menjadi cara bergosip dan itu kunci melakukan kerja sama sosial. Tentu Bapak tahu semua itu, toh Bapak sendiri yang meminjamkan buku sejarah ringkas riwayat manusia itu pada saya. Tapi please, saya hanya ingin menyimpannya sendiri,” Nancy mulai menangis.

Aldi berdiri dari kursinya dan mendekati Nancy.
“Jika kamu butuh pelukan agar membuatmu nyaman, jangan sungkan Nancy.”
Nancy lalu memeluk Aldi sambil terus menangis. Aldi mengusap-usap rambut Nancy hingga akhirnya gadis itu berhenti menangis. Setelah itu Andi menawarkan segelas air minum padanya.
“Baik Nancy, saya tidak akan memintamu untuk bercerita sekarang. Tapi jika kau butuh teman untuk bercerita saya akan siap mendengarkan kapan saja.”

Esoknya Nancy yang kemudian menemui Pak Aldi di ruangannya. Ia merasa nyaman saat Pak Aldi menawarkan pelukan padanya kemarin. Hal itu membuat Nancy sedikit merasa lega. Selama ini ketika ia menangis, tak seorang pun yang menawarkannya pelukan atau sekedar membelai kepalanya agar ia bisa tenang. Kini Nancy menyadari ia ternyata mendambakan sosok dewasa yang mau mendengar kisah-kisahnya seperti Pak Aldi, memberikan telinga untuk mendengar, tangan untuk memeluk, dan jari untuk membelai kepalanya.

Nancy mulai menceritakan kisah pengunjung yang tak ia ketahui namanya dan momen yang paling ia sukai dari lelaki itu. Dalam keadaan bingung pada bagian mana yang membuat Nancy sangat menderita, Pak Aldi memberikan saran kepada Nancy untuk mengajak rekan-rekan pustakawan lainnya agar mengubah susunan buku-buku berdasarkan warna lintas kategori sehingga membuat semua pustakawan bisa punya banyak waktu untuk bertegur sapa dengan pengunjung. Menurut Aldi cara itu mungkin akan membantu Nancy mendapatkan teman ngobrol baru sehingga ia tidak bosan hanya duduk di meja jaga. Nancy senang dengan usulan Pak Aldi. Ia sungguh kepala perpustakaan yang sangat tahu segala hal yang berkaitan dengan buku, jika ada buku yang kertasnya terlepas, Pak Aldi akan segera membawa ke mejanya untuk diperbaiki, ia sangat mahir menjilid dan membubuhi lem pada buku, ia benar-benar sangat mencintai buku.

Suatu hari Aldi mengajak Nancy ke kafe saat jam istirahat.
“Bagaimana kabarmu saat ini Nancy?”
“Lumayan membaik, saya sudah jarang menangis karena harus meladeni pengunjung yang lebih banyak kebingungan mencari buku setelah Bapak mengubah konsep susunan buku itu.”
“Hahaha…Senang mendengarnya. Tapi sebenarnya saya masih penasaran bagaimana bisa lelaki misterius itu mampu membuat kau menangis sampai berbulan-bulan?”
“Baiklah, sepertinya ini saat yang tepat untuk menceritakannya. Sebenarnya sejak kecil saya selalu merasa kesulitan bercerita pada orang lain karena terlalu sering memendam banyak hal sendirian. Saat berumur 6 tahun saya diperkosa oleh paman saya sendiri, dalam keadaan marah dan bingung saya memutuskan untuk tidak menceritakannya pada siapapun. Saya selalu mendengar gosip ibu-ibu tetangga tentang pemerkosaan dan saya mengambil kesimpulan ketika seorang perempuan diperkosa yang selalu disalahkan adalah perempuan itu sendiri. Saya tidak ingin membebani keluargaku, terutama ibuku dengan menceritakan kejadian itu karena saya khawatir mereka akan merasa bersalah karena tidak bisa menghindarkan saya dari kejadian itu. Dari situ saya menjadi terbiasa memendam segala yang kuanggap masalah sendirian. Saya tidak ingin membebani orang lain dengan memikirkanku. Dan memang saya selalu berhasil melewati kesedihanku, saya tumbuh menjadi anak yang berprestasi di sekolah. Tidak ada masalah yang tidak bisa kulewati sendiri, saya menjadi mandiri dan lebih banyak membaca buku ketika bersedih. Saya tidak berhenti membaca buku-buku tentang seksualitas untuk menemukan jawaban mengapa pamanku tega melakukan itu pada saya hingga akhirnya saya mengerti dan tidak lagi membencinya, walau saya tidak lagi ingin bertemu dengannya. Tidak ada lagi yang membuatku penasaran pada dunia ini, semuanya telah kutemukan jawabannya Pak,” Nancy bercerita sambil sesekali menyeruput es teh lemon pesanannya. “Jika kemarin-kemarin kamu khawatir jika saya tidak pernah lagi merasakan kebahagiaan sebenarnya kamu salah. Yang saya tahu dari buku-buku sains, riset biologi mengatakan bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur secara objektif. Sebagian besar riset biologi hanya mengetahui eksistensi kesenangan. Saya tahu persis apa saja yang bisa membuat saya senang, bagaimana cara meningkatkan kadar hormon endorfin, serotonin, dopamin, dan oksitosin untuk mendapatkan kesenangan saya. Di masa modern ini kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan asalkan kita tahu caranya. Kita tidak dihalangi apapun kecuali oleh kebodohan kita, saya tahu itu. Namun satu-satunya yang tidak bisa kulakukan hanyalah menemukan lelaki itu. Itu yang kuanggap sebagai penderitaan, awalnya kupikir paling tidak saya bisa merawatnya dalam fantasiku dan kini bahkan saya sudah lupa bagaimana rupanya. Saya sangat menyesal tidak mengajaknya berkenalan sejak awal.”
“Oh Nancy, kamu sangat kuat melewati semua itu. Tapi kita bisa mencarinya bersama jika kau mau Nancy.”
“Saya sudah pernah mencobanya Pak. Tapi saya benar-benar putus asa, saya kehilangan jejak.”
“Tenang Nancy. Kau masih muda, keajaiban bisa saja terjadi, percayalah. Saya pernah memiliki perempuan idaman seperti itu juga, saya menganggapnya sebagai soulmate. Tapi kami akhirnya tidak bersama, meski begitu kami masih tetap berhubungan baik meski tidak saling memiliki. Tenang saja Nancy.”
“Ya, Bapak benar. Terima kasih telah mengingatkanku untuk berpikir tenang Pak, saya sering melupakan itu dan membuat saya bersedih sepanjang hari kemarin-kemarin.”
“Baiklah, kalau begitu mari kita kembali ke perpustakaan, siapa tahu lelaki itu muncul kembali.”

Nancy kini kembali hidup meski mungkin tak akan bertemu dengan lelaki itu lagi. Baginya tak apa ia kehilangan harapan selama ia masih memiliki fantasi. Toh ia juga sudah merasa berkecukupan setelah menyadari ternyata ada orang seperti Pak Aldi yang mau meluangkan waktu untuk meminjamkan telinganya. Ia semakin senang saat Pak Aldi menghadiahkannya buku catatan yang ia jilid sendiri. Agar Nancy bisa mulai menulis dan memulai kisah-kisah fantasi barunya selama menjaga di perpustakaan, katanya. Untuk memberi makna pada penderitaannya selama ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...