Langsung ke konten utama

Mengapa Saya Memilih Menjadi Pustakawan?

1. Pertama kali saya tertarik dengan buku melalui mama saya. Saat kecil saya ingat jelas Mama ku pernah bilang "suatu hari kita bikin perpustakaan mini di rumah" sambil merapikan beberapa buah buku di lemari kecil yang berada di samping tempat tidur kami. Tidak banyak koleksi buku kami, buku adalah barang mewah saat itu. Maka dari itu saya selalu senang jika diajak ke rumah keluarga bernama Tikka yang memiliki banyak koleksi buku dongeng bergambar. 
2. Saya bersekolah di SDN Bontorannu 2 yang kala itu tidak memiliki perpustakaan. Suatu hari ketika ikut pelatihan Pramuka, saya menemukan banyak buku cerita tergeletak begitu saja di dalam gudang ketika saya diminta mengambil tongkat untuk pelajaran membuat tandu. Sejak saat itu saya selalu mengajukan diri menjadi pemimpin regu agar bisa mengakses kunci gudang dan bisa berlama-lama membaca buku yang disimpan begitu saja.
3. Saat SMP saya senang mengurus majalah dinding karena sebelum pindah dari SMPN 1 Makassar ke SMPN 2 Pitumpanua saya banyak menghabiskan uang jajan saya membeli majalah Fantasi. Beberapa isi majalah itu saya gunting dan tempel di mading sekolah yang baru. Letak mading kala itu berada persis di depan perpustakaan yang sayangnya buku-bukunya lebih banyak novel dewasa daripada buku untuk remaja. 
4. Saat SMA saya bersekolah di SMA Unggulan tapi isi perpustakaannya tidak menarik, kecuali beberapa majalah Horison. Beruntung ada beberapa teman yang orang tuanya selalu ke Makassar dan membelikan mereka buku cerita, kami selalu mengantri untuk bisa meminjam dan membacanya. Mereka adalah A.Rima, Muzdalifah, dan Inet.
5. Saat menjadi mahasiswa baru, saya mendapat tugas membuat FGD dari senior yang kala itu mengadakan prosesi penerimaan mahasiswa baru dengan bentuk "Kampoeng Sastra 07" yang menghadirkan 3 penulis nasional, saya mendapat bagian menemani Eka Kurniawan dan istrinya Ratih Kumala ke Kafe Baca Biblioholic. Dari situ saya merasa menemukan tempat yang selama ini saya cari. Kemudian saya lebih sering berada di sana, ikut kelas menulis sampai diajak menjadi relawan mengurusi Kafe Baca Biblioholic.
6. Saya berpacaran dengan salah satu pedagang buku di toko buku Idefix. Hingga kami menikah. Dia adalah mahasiswa jurusan sejarah, hubungan kami selalu menyenangkan diselingi berbagai diskusi menarik.
7. Saya banyak bekerja untuk membantu mengurusi perpustakaan di beberapa tempat, Kampung Buku, Idefix, Linonipi, Katakerja, dan perpustakaan Yayasan BaKTI.
8. Kesimpulannya saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk mengurusi buku, hingga saat ini. Dan saya pikir saya adalah salah satu orang yang selalu berbahagia walaupun mungkin tidak akan bisa kaya raya dan membuat saya jarang bertemu keluarga besar karena sibuk mengurusi perpustakaan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...