Langsung ke konten utama

Jatuh Cinta Pada Pisang

*Tulisan ini sudah pernah dimuat di website Payo-Payo ketika saya mengikuti Pelatian Penelitian Desa akhir tahun 2015. Maaf gambarnya tidak muncul...




Suatu hari saya membaca buku Jared Diamond berjudul The World Until Yesterday yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Dunia Hingga Kemarin. Sepanjang membaca bab yang membahas mengenai Garam, Gula, Lemak, dan Pemalas itu saya merasa bergidik dan merasa bersalah pada tubuh saya sendiri. Saya selalu makan apa saja tanpa mempertimbangkan gizinya, tak peduli asal dan siapa yang mengolahnya, dan tak peduli apa efek yang akan timbul ketika saya memakan makanan tersebut.

Faktanya bahwa ada berbagai penyakit yang membunuh masyarakat modern yang dikenal dengan penyakit-penyakit tidak menular antara lain diabetes, hipertensi, stroke, serangan jantung, aterosklerosis, penyakit kardiovaskular, dan kanker langka. Semua itu akibat dari makanan masyarakat modern (tentu saya termasuk di dalamnya) yang mengandung garam, gula, dan lemak berlebih. Saya senang dengan pernyataan Jared Diamond pada bab penutup bahwa sebagian yang diajarkan dunia kemarin kepada kita adalah untuk bersyukur atas masyarakat-masyarakat modern kita, tidak menjelek-jelekkannya secarahantam-kromo.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dari apa yang kita pelajari dari masyarakat tradisional. Yang mudah kita terapkan misalnya berolahraga, makan dengan perlahan, memilih makanan sehat, menghindari makanan dengan label yang menunjukkan bahwa makanan tersebut kaya garam, lemak trans, dan gula sederhana. Meski tidak semudah itu lepas dari penyakit tersebut namun tidak ada salahnya mencoba menghindarinya dengan mengurangi kadar gula, garam, dan lemak berlebih.

Saya lalu berpikir bagaimana memulai mengindari kadar gula, garam, dan lemak berlebih? Pada saat yang sama saya tiba-tiba ingat pisang. Ya, sepertinya saya bisa memulainya dengan memilih pisang sebagai salah satu panganan.

Dulunya saya tidak acuh pada tumbuhan terna yang menyukai iklim tropis panas dan lembab ini. Sampai suatu hari saya membaca Kitab Tanaman Obat Nusantara yang ditulis oleh Herlina Widyaningrum bersama tim-nya, bahwa pisang memiliki kandungan kimia antara lain vitamin A,B1, C, lemak, mineral (kalium, chlor, natrium, magnesium, posfor), dextrose, air, sucrose, levulose, zat putih telur, dan zat tepung. Sehingga pisang, selain buahnya bisa dimakan, kita juga bisa memanfaatkan batang, akar, dan daunnya sebagai obat untuk mengobati antara lain : kanker perut, sakit kuning, keluarga berancana, pendarahan usus besar, pendarahan rahim, mencegah pendarahan sehabis melahirkan, sariawan usus, merapatkan vagina dan mencegah pendarahan, ambeien, cacar air, telinga bengkak, tenggorokan bengkak, disentri, diare (orang dewasa dan bayi), dan amandel.

 Kesukaan saya kepada pisang semakin menjadi-jadi ketika berada di Dusun Pallawa, Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Selain kakao, komoditas utama petani di desa ini adalah pisang dan kelapa. Dari Ibu Samsiarah atau yang lebih dikenal oleh warga setempat dengan panggilan Ma’ Same’ berusia 56 tahun, saya belajar banyak tentang tanaman pisang. Di kebun Ma’ Same’ ada berbagai macam pisang yang dalam bahasa Bugis Soppeng disebut otti, mulai dari  otti tellang, otti barangeng, otti panasa, otti manurung, otti dadi, otti cere’, otti batu, sampai otti onyi-onyi. Hampir tiap hari di rumah Ma’ Same’ menyuguhkan pisang dengan berbagai jenis olahan, hal itu membuat saya penasaran, bagaimana cara membedakan pisang melalui pohonnya? Sebab secara kasat mata pohon pisang yang saya lihat sama saja.  

Tanggal 13 September 2015 saya ikut ke kebun Ma’ Same’ untuk melihat langsung pohon-pohon pisang yang ditanam suaminya, Pak Hamzah berusia 58 tahun. Pasangan ini membagi peran di kebun, Pak Hamzah mengambil bagian menanam dan merawat tanaman sedangkan istrinya bertugas untuk memanen dan menjual hasil panen. Untuk urusan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah diserahkan pada anak, saudara, dan ibu dari Ma’ Same’ yang tinggal di rumahnya.  Hari itu saya belajar banyak tentang pisang.



Otti tellang atau dalam bahasa Indonesia disebut pisang ambon. Pohon otti tellang ini paling tinggi (4-5meter) diantara pohon pisang lainnya yang ada di kebun Ma’ Same’, daunnya melengkung. Harga jual antara Rp.15.000-Rp.20.000 per sisir. Buah otti tellang masuk dalam golongan pisang meja yakni dikonsumsi dalam bentuk segar setelah buah matang.


Otti barangeng atau pisang barangan. Pohonnya juga tinggi namun yang menjadi pembeda dengan pisang ambon adalah daunnya yang menjulang ke atas. Otti barangeng matang menjadi buah favorit keluarga Ma’ Same’ karena selain rasanya yang manis dan memiliki aroma khas, harga jual pisang ini juga paling tinggi di pasar karena selalu dicari untuk digunakan sebagai pelengkap dalam ritual doa-doa keselamatan atau yang biasa disebut ma’baca-baca oleh warga setempat. Harga jualnya mencapai Rp.30.000 per sisirnya. Otti barangeng masuk dalam golongan pisang meja ketika matang, namun juga bisa masuk dalam golongan pisang olah jika masih muda yakni dimasak bersama nasi atau dibuat kue sanggara cina.


Otti panasa atau pisang nangka memiliki daun yang sangat melengkung dan warnanya lebih muda. Tinggi pohonnya antara 3-4 meter. Harga jual di pasar Rp.5.000 – Rp.10.000 per sisir. Otti panasa masuk dalam golongan pisang olah menjadi sanggara balanda, sanggara, sewong otti, dan pisang ijo. Daunnya juga bisa digunakan untuk membungkus olahan makanan.


Otti manurung atau pisang kepok pohonnya memiliki daun yang melengkung namun warnanya lebih gelap dibandingkan dengan daun otti panasa. Harga jualnya Rp. 5.000 – Rp.10.000 per sisir. Otti manurung masuk dalam golongan pisang olah menjadi sanggara, barongko, campuran roti berre, pisang ijo, pisang epe, sanggara peppe, kolak pisang, pallubutung, dan sewong otti. Sebenarnya buah matang bisa juga langsung dimakan dan dipercaya bisa mengobati penyakit maag. Daunnya juga bisa digunakan untuk membungkus olahan makanan. Diantara jenis pisang yang ada, otti manurung-lah yang paling banyak dicari pembeli namun Ma’ Same’ tidak begitu banyak menanamnya di kebun karena harganya tidak tinggi.


Otti dadi atau pisang susu memiliki batang pohon yang nyaris berwarna putih begitu pula pada bagian belakang daunnya. Harga jualnya hanya Rp.5000 per sisir karena buahnya berukuran kecil dan masuk dalam golongan pisang meja. Otti dadi mengandung asam folat yang dibutuhkan oleh janin dalam perkembangan di dalam rahim. Meski begitu kalori yang dikandungnya juga tinggi sehingga tidak dianjurkan mengkonsumsinya secara berlebihan.


Otti cere’ yang dalam bahasa Indonesia belum saya temukan padanan katanya. Ciri pembeda paling menonjol dari pohon otti cere’ adalah garis merah di bagian pinggiran batangnya. Harga jual pisang ini adalah Rp.2.500 – Rp.7.500 per sisir. Otti cere’ masuk dalam golongan pisang olah yang paling enak digoreng menjadi kripik pisang.


Otti batu atau pisang batu memiliki daun lebih lebar dan mirip dengan otti manurung hanya saja warnanya lebih muda, namun tidak terlalu melengkung seperti otti panasa. Pisang jenis ini tidak pernah Ma’ Same’ jual di pasar hanya digunakan untuk kebutuhan sendiri atau diberikan kepada tetangga jika ada yang butuh. Buahnya diolah untuk membuat lawa’ otti batu atau campuran nasu bale. Daunnya bisa digunakan untuk membungkus olahan makanan.


Jenis pisang yang terakhir adalah otti onyi-onyi yang dalam bahasa Indonesianya juga belum saya temukan, bentuk buahnya mirip dengan pisang mas namun sedikit lebih kecil. Memiliki daun yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan pohonnya tidak terlalu tinggi. Harganya juga paling murah Rp.2.500 –Ro. 5000 per sisir. Masuk dalam golongan pisang meja sama seperti pisang ambon dan pisang susu.

Pohon pisang berbuah satu kali dalam satu masa tanam. Usia pohon pisang satu tahun sejak ditanam kemudian berbuah, buah pisang bisa dipanen jika sudah berusia 3 bulan. Dalam panen pisang digunakan satuan situnrung (tandan) yang kurang lebih menghasilkan 10 seppe (sisir).


Dan hal terakhir dan paling berkesan tentang cinta saya pada pisang kali ini karena sampai hari ini Ma’ Same’ belum merasa perlu memberikan pupuk ataupun pestisida untuk pisangnya. Saya yang belum punya pengalaman dan pengetahuan mengenai budidaya pisang menganggap ternyata sangat mudah bertanam pisang, namun anggapan saya ternyata salah. Pisang juga memiliki penyakit salah satunya dara-darang yang memiliki ciri daun menguning, batang di dalam pohon berubah warna menjadi coklat ketika ditebas, kemudian pohon akan mati dari akar sampai ujung daun paling atas, pohon juga tidak akan berbuah jika terkena penyakit dara-darang. Ma’ Same’ dan Pak Hamzah atau yang lebih sering kusapa Ambo kemudian meminta saya kembali lagi ke desa Soga setelah mendapat pengetahuan tentang bagaimana menanggulangi penyakit itu. Apakah ada diantara anda yang tahu? Mari berbagi pengetahuan... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...