*Tulisan ini sudah pernah dimuat di website Payo-Payo ketika saya mengikuti Pelatian Penelitian Desa akhir tahun 2015. Maaf gambarnya tidak muncul...
Saya Eka, salah
satu peserta Pelatihan Penelitian Desa yang diadakan oleh Payo-Payo. Fase
pertama Pelatihan Penelitian Desa ini berupa orientasi pelatihan dilaksanakan
pada tanggal 23-26 Agustus 2015 di Pasangrahan Malino. Setelah itu, fase kedua
yakni pelatihan lapangan berupa simulasi, saya ditempatkan di Desa Soga, desa
termuda di Kecamatan Marioriawao, Kabupaten Soppeng. Sejak tahun 2009 SRP
Payo-Payo sudah melakukan pengorganisasian di sana, tiga tahun pertama di Dusun
Pallawa dan tiga tahun terakhir di Dusun Tonrong.
Ini kali pertama
saya menginjak Desa Soga, desa yang kaya akan hasil alam dan berbatasan dengan
dua sungai, sungai Mario dan Walennae. Sebagai orang berdarah Bugis Wajo yang
punya banyak pengalaman mencicipi ikan dari danau Tempe, tinggal di Desa Soga
tentu hal yang sangat menyenangkan, saya bisa banyak mencicipi ikan sungai di
sana.
Selama dua puluh
hari saya tinggal di rumah Pak Hamzah berusia 58 tahun. Rumah yang dihuni oleh
delapan anggota keluarga, yakni Pak Hamzah sendiri sebagai kepala keluarga,
istrinya bernama Ibu Samsiarah, mertuanya bernama Nenek Sali, adik iparnya
bernama Iju, anaknya bernama Anti, menantunya bernama Ansar, dan dua cucunya
bernama Iqbal dan Ilmi.
Saya memilih
memanggil Pak Hamzah dengan sapaan Ambo’, seperti yang anak dan cucunya gunakan
untuk memanggil beliau. Menggunakan sapaan Ambo’ membuat saya merasa lebih
dekat dan hal itu mengingatkan saya pada kakekku yang meninggal tiga hari
setelah kelahiranku bernama Ambo’ Sinrang.
Senang rasanya
berada dalam lingkungan rumah yang ramai dan tak butuh waktu lama hingga saya
merasa seperti tinggal di rumah keluarga sendiri. Tiap kali jam makan siang dan
saya sedang di luar, Ambo’ selalu menghubungi untuk pulang makan. Saat Ambo’ ke
pasar, saya juga mendapat bagian satu celana cakar, sama seperti untuk dua
anaknya. Hal itu membuat saya merasa beliau seperti bapakku sendiri.
Hal yang
menyenangkan lainnya adalah karena Ambo’ adalah ketua RT juga sekaligus ketua
kelompok tani di lingkungannya. Ini memudahkan saya ketika ingin mencari tahu
banyak hal tentang isu agraria di Desa Soga, paling tidak di Dusun Pallawa. Ketika
akan mengadakan FGD dengan warga untuk membuat sejarah komoditas, beliau
membantu kelompok saya untuk berkenalan dan mengumpulkan peserta. Di lingkungannya,
beliau dikenal sebagai petani yang ulet, tidak banyak bicara tapi tidak perlu
diragukan soal praktek. Beliau selalu memberi contoh kepada warga sekitarnya
dengan langsung memprektekkan jika ada hal baru yang ia ketahui tentang
pertanian. Karena itu ia cukup disegani dan didengar oleh warga lainnya.
Seperti pada
umumnya petani di Desa Soga, Ambo’ juga mulai mengganti tanaman yang awalnya
ditanami berbagai jenis tanaman komoditas seperti tembakau, kacang tanah, kayu
jati, bambu, pangi, sukun, nenas,
nangka, cempedak, jagung, kemiri, bambu, kapas, kelapa, dan pisang menjadi
kakao pada tahun 1980-an. Kakao kemudian menjadi tanaman utama, menggantikan
tanaman tembakau dan jagung. Masa kejayaan kakao datang, petani menyambutnya
dengan gembira, seperti masa memetik emas kata mereka. Sejak saat itu, warga
mulai mengganti jagung sebagai makanan pokok menjadi beras. Warga memilih beras
karena rasanya dianggap lebih enak dan sejak kakao hadir, mereka tidak lagi
merasa berat untuk membeli beras yang memang harganya lebih tinggi daripada
jagung.
Namun masa
memetik emas tidak berlangsung lama. Berbagai jenis hama dan penyakit mulai menyerang
pada awal tahun 2000. Pohon kakao tidak lagi menghasilkan buah sebanyak di masa
kejayaannya, bahkan banyak pohon kakao yang mati. Bersamaan dengan itu semakin
hari harga jual biji kakao juga tidak lagi mampu menutupi kebutuhan petani.
Warga Desa Soga tidak lagi mampu berharap banyak pada kakao. Tak terkecuali
Ambo’, beliau seringkali mengeluh jika mengingat nasib kebunnya yang semakin
hari tak produktif lagi. Namun ia tidak ingin tinggal diam. Beruntung saat masa
memetik emas, hasilnya ia gunakan untuk membeli lahan sawah di desa lain (Oh
ya, di Desa Soga sejauh mata memandang yang ada hanyalah kebun kakao, tak ada
sawah). Ia memilih untuk membeli tanah
daripada naik haji atau membangun rumah mewah pada saat itu. Kini ia tidak
perlu khawatir untuk ketersediaan beras di rumahnya. Berapa luas lahannya?
Beliau selalu enggan menyebutkan angka, hanya selalu mengatakan cukuplah hasilnya
untuk kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya itu,
meski masih berharap masa emas itu datang lagi, tapi ia tetap bersikap realistis.
Beliau sebenarnya sangat paham tentang bagaimana menanggulangi hama dan
penyakit kakao. Ambo sudah seringkali mengikuti pelatihan atau penyuluhan
penanganan hama dan penyakit kakao. Namun baginya percuma saja jika yang
melakukan perawatan hanya ia dan di kebunnya sendiri, sebab hama dan penyakit
bisa menyebar dengan mudah dari satu kebun ke kebun lain. Ia harus melakukannya
bersama petani lain, harus berkelompok, harus berkomunitas, namun kebiasaan itu
sudah hilang sejak lama. Dengan kelompok tani yang baru ia bentuk tiga bulan
lalu, Ambo’ berharap bisa mengembalikan kebiasaan berkelompok dan bekerja
secara bersama. Sambil sedikit demi sedikit Ambo’ mulai mengganti tanaman kakao
yang mati dengan komoditas lain seperti pisang, kelapa, dan lombok hijau. Ambo’
adalah petani pertama dan masih satu-satunya yang menanam lombok hijau di Dusun
Pallawa. Tidak hanya itu, sejak mendengar kabar bahwa komunitas petani
dampingan Payo-Payo di Coppeng-Coppeng, Dusun Tonrong akan belajar menanam
bawang, tanaman yang awalnya dianggap mustahil bisa tumbuh di Desa Soga, beliau
juga tidak ingin ketinggalan. Meski Payo-Payo tidak lagi melakukan pengorganisasian
di lingkungannya, Ambo’ tidak pernah merasa segan ke dusun sebelah untuk ikut
belajar. Kini ia sementara mempersiapkan sebagian lahan kebunnya untuk ditanami
bawang.
Tinggal di rumah
Ambo’ membuat saya bisa membayangkan bagaimana kehidupan kakek saya dulu. Kakek
saya juga seorang petani yang memiliki sawah dan kebun kakao. Ambo’ tiap pagi
bangun pukul 5 dini hari, setelah minum teh, sarapan, ia lalu ke kebun. Pulang
sebelum shalat dhuhur, makan siang setelah itu baring-baring di depan TV sambil
memutar CD lagu-lagu Bugis. Sekitar pukul 3 atau 4 sore, ia ke kebun yang tidak
jauh dari rumah untuk mengambil pisang, kembali ke rumah sebelum magrib.
Setelah shalat magrib, makan malam kemudian bersantai dengan keluarganya lalu
tidur pukul 10. Selain rutinitas itu ada banyak kegiatan Ambo’ di luar rumah, seperti
mengikuti pertemuan petani di ibukota kecamatan, memenuhi tantangan bermain
kartu domino di dusun sebelah, dan ikut bergotong royong jika ada perbaikan
jalan di lingkungannya.
Ambo’ dengan topi favoritnya ala koboy membuat sagu dengan alat penghalus kayu
Tanggal 15
September, dua hari sebelum saya meninggalkan Desa Soga karena fase kedua akan
berakhir, Ambo’ memperlihatkan kepada saya cara ia membuat sagu dari isi dalam
batang pohon rumbia. Batang pohon rumbia itu pemberian tetangga di depan
rumahnya. Cara pada umumnya adalah memotong isi dalam batang menjadi potongan
kecil, lalu ditumbuk. Setelah ditumbuk direndam dalam wadah yang berisi air kemudian
disaring. Hasil saringannya lalu diendapkan, setelah 15 menit air endapan dibuang.
Sari isi dalam batang rumbia itulah yang kemudian dijemur dan menjadi sagu.
Cara seperti itu memakan waktu selama satu hari, proses menumbuklah yang
membutuhkan waktu berjam-jam. Namun saat itu Ambo’ ingin mencoba cara baru. Ia
ingin memanfaatkan alat ketam elektrik untuk mempercepat proses pembuatan
sagunya. Walhasil sagu bisa selesai disaring dan siap jemur hanya dalam waktu
dua jam. Segera kabar ini tersebar di lingkungan Pallawa dan banyak tetangga
yang tertarik mencoba hal yang sama. Sayangnya saya harus segera berpindah
lokasi sebelum mencicipi olahan sagu Ambo’.
Saya mengagumi
Ambo’ yang hingga kini masih ingin terus belajar banyak hal dan selalu bereksperimen
dan mencoba hal baru. Itu membuat saya juga bersamangat untuk terus belajar. Saya
juga selalu mengingat pesan Pak Roem, “Tidak perlu tahu semua namun paling
tidak tahu dasarnya.”
Komentar
Posting Komentar