Saya tidak begitu mengerti penyebab kesengsaraan yang selalu dikeluhkan banyak petani dalam berbagai aspek. Sampai suatu hari saya membaca buku berjudul Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria. Buku yang ditulis oleh Henry Bernstein ini benar-benar membuka pikiranku pada banyak hal mengenai isu-isu pertanian.
Henry menyambut
pembaca dengan penjelasan sejarah panjang perubahan agraria. Untuk memahami
perubahan agraria dalam dunia modern, analisisnya berpusat pada kapitalisme
serta perkembangannya. Kapitalisme yang ia maksud adalah sistem produksi dan
reproduksi yang didasarkan pada relasi sosial antara kapital dan buruh.
Apa yang dialami oleh para petani saat ini tentu tidak terjadi
begitu saja. Asal mula ekonomi pangan global kontemporer bisa ditelusuri dari
serangkaian perubahan revolusioner yang terjadi selama sekian milenium, sekian
abad, dan sekarang terhenti dalam hitungan dekade. Perubahan kelas petani terjadi sejak masa
kolonialisme yang kemudian membentuk kapitalisme ditandai sejak Revolusi
Industri pada abad ke-18, masa feodalisme juga tak luput disebutkan.
Istilah “petani” yang dulunya merujuk pada usaha tani rumah tangga
yang dikelola untuk reproduksi sederhana, terutama untuk menyediakan pangan
sendiri (subsistensi). Seiring perkembangan kapitalisme, karakter social usaha
tani skala kecil berubah. Jika dulunya petani dicirikan dengan solidaritas,
saling mendukung secara timbal balik, egaliterianisme, serta keterikatan pada
nilai-nilai kehidupan yang berbasis rumah tangga, komunitas, kekerabatan, dan
tempat kini berubah.
Petani kemudian menjadi produsen komoditas berskala kecil. Mereka
harus memproduksi kebutuhan hidup mereka dengan cara bergabung dalam struktur
pembagian kerja yang lebih luas dan terintegrasi ke pasar. Lalu produsen
komoditas berskala kecil ini tunduk pada proses diferensiasi kelas, yakni
kecenderungan pemilahan produsen komoditas skala kecil menjadi kelas kapital
dan kelas pekerja. Munculnya diferensiasi sangat dipengaruhi relasi-relasi
gender dan dinamika relasi-relasi itu. Ketika rumah tangga petani sudah
tercebur dalam relasi-relasi komoditas kapitalis, mereka pun pasti tunduk pada
dinamika dan keterpaksaan yang ditimbulkan dari komodifikasi.
Untuk mempermudah pemahaman ini saya mengambil contoh apa yang
terjadi di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Dulunya petani dusun ini adalah petani subsisten, mereka menanam berbagai jenis
tanaman seperti padi, kentang, wortel, kopi, sampai tembakau untuk kebutuhan
konsumsi sendiri. Sampai pada tahun 1990, seorang petani datang dari Jawa
mengajarkan pola bercocok tanam sayur baru dengan penggunaaan input kimia serta
pembagian kerja. Dulunya petani di sana memuliakan tanah dengan membiarkan
tanah dipenuhi rumput liar setelah panen lalu membakarnya sebelum kembali
menanam, kini yang mereka tahu adalah menggunakan pupuk untuk pemuliaan tanah. Ada
banyak yang berubah, termasuk kebergantungan pada pasar namun tidak memiliki kontrol
atas harga pasar.
Dari masyarakat subsisten yang mereproduksi diri pada tingkat
konsumsi yang konstan berubah menjadi
masyarakat agraris yang terbagi atas kelas. Kelas-kelas dominan atau penguasa
pada masyarakat agraris yang terbagi atas kelas terdiri dari dinasti bangsawan,
aristokrat sipil dan militer, birokrat sipil dan agama, serta kelompok
pedagang. Kelas-kelas penguasa tersebut berupaya mengatur aktivitas ekonomi
(upaya untuk menghakmiliki kerja lebih) dan kadang kala memberikan rangsangan
kegiatan ekonomi misalnya dengan pembangunan dan perawatan bangunan irigasi.
Mereka tidak berusaha secara sistematik untuk “menyimpan” dan menginvestasikan
kembali produk lebih yang dihakmiliki untuk pembangunan kapasitas masyarakat
mereka. Justru mereka disibukkan dengan usaha untuk menguasai tanah dan buruh
sebagai sumber kekayaan, kekuasaan, kejayaan agar mampu mengonsumsi kemewahan. Eksploitasi
tenaga kerja yang digerakkan oleh kebutuhan untuk memperluas skala produksi dan
meningkatkan produktivitas demi menciptakan laba atau akumulasi adalah
karakteristik dalam masyarakat kategori terakhir yaitu kapitalisme.
Hal ini juga terjadi di Dusun Puncak, kaum petani kapitalis yang
baru tumbuh itu cenderung menggunakan buruh upahan untuk menambal dan
menggunakan atau menggantikan tenaga kerja. Banyak masyarakat yang memilih
menjadi buruh di kebun sayur dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya seperti
pandai besi karena menganggap menjadi buruh kebun lebih mudah dan mereka bisa
segera mengumpulkan uang membeli tanah. Sedangkan yang tak mampu membeli tanah,
mereka mengalihfungsikan sawah menjadi kebun sayur dengan anggapan bahwa dengan
keuntungan besar dari sayuran mereka bisa membeli beras. Siapa yang tahu jika kemudian
semua petani melakukan hal yang sama dan beras semakin langka, tentu harganya
semakin mahal dan tak terjangkau lagi. Bersamaan dengan itu mereka mulai
bergantung pada alat-alat produksi seperti tanah, peralatan, benih, dan
ternak.
Kecenderungan petani kapitalis adalah menyederhanakan,
menstandarkan, dan mempercepat proses alamiah sebisa mungkin. Inovasi teknologi
dalam pertanian diarahkan bukan hanya oleh industri input pertanian pada
khususnya, melainkan juga oleh juga oleh industru pangan hasil pertanian agar
menghasilkan produk bahan baku dari tanaman maupun hewan secara lebih
terprediksi, lebih besar, dan lebih cepat matang. Baik melalui perlakuan atas
tanah (pemupukan), pembasmian gulma (herbisida) dan hama (pestisida),
pengelolaan iklim (irigasi dan rumah kaca), pemuliaan sifat tanaman (rekayasa
genetik, pematangan buatan), maupun pengendalian perkembangan ternak (pakan
konsentrat, perangsang pertumbuhan hormone, dan rekayasa genetik).
Bagi para pengkritik pertanian kapitalis modern, inovasi-inovasi
semacam itu menunjukkan kian intensifnya “industrialisasi” pertanian dengan
kerugian ekologis yang semakin parah dan semakin besar. Tak ketinggalan
kerugian kesehatan sebagai dampak dari bagaimana pangan ditanam dan diproses
serta semakin rendahnya nilai gizi dan semakin tingginya tingkat racun pada
banyak makanan.
Henry banyak membahas mengenai relasi dan dinamika komodifikasi,
produksi komoditas berskala kecil, diferensiasi, kelas-kelas tenaga kerja, dan
dalam kapitalisme dalam buku ini. Pada masa kolonialisme petani kecil terkurung
di dalam produksi komoditas oleh paksaan samar dari kekuatan-kekuatan ekonomi,
komodifikasi atas subsistensi mereka. Lalu era kapitalisme membentuk
kelas-kelas kapital yang dibedakan berdasarkan kepentingan dan strategi yang
dimiliki dan dijalankan oleh kapital pada aktivitas dan sektor tertentu pada
berbagai skala, mulai dari lokal hingga internasional. Keberagaman kelas-kelas
kapital dan kelas-kelas pekerja di pedesaan serta bagaimana keberagaman itu
dibentuk oleh berbagai faktor (determinasi) yang berasal dari luar pedesaan, di
luar lahan tani, dan di luar pertanian. Petani kecil adalah satu kelas tunggal
dan terbentuk sebagai sebuah kelas dengan berbagai relasi sosial dengan
kapital.
Kompleksitas analitis dinamika kelas dalam proses perubahan agrarian
yang disajikan oleh Henry merupakan sebuah upaya untuk menggeluti sejumlah
kompleksitas dunia nyata kapitalisme kontemporer. Dunia nyata kapitalisme itu
terbentang mulai dari bursa berjangka di Chicago dan markas korporasi
agribisnis hingga diferensiasi kelas di zona-zona “kapitalisme petani kecil”
yang terus berubah dan berkembang, sampai ke pertarungan para petani dan
pekerja miskin. Pesan terakhir dalam buku ini adalah dalam sebuah dunia
kapitalis, usaha memahami dinamika kelas harus selalu menjadi titik berangkat
dan merupakan elemen sentral dalam analisis tersebut.
*Tulisan ini kubuat saat mengikuti Pelatihan Penelitian Desa yang diadakan oleh SRP Payo-Payo tahun 2016 lalu :)
*Tulisan ini kubuat saat mengikuti Pelatihan Penelitian Desa yang diadakan oleh SRP Payo-Payo tahun 2016 lalu :)
Komentar
Posting Komentar