Langsung ke konten utama

Tentang Buku Sihir Perempuan



Saya tidak menyukai segala sesuatu yang berbau horor. Awalnya karena alasan takut. Terakhir saya membaca novel horor/misteri saat SMA. Itupun karena tidak ada pilihan lain. Di kampung saya saat itu toko buku hanya ada 1 yang menjual novel, itu pun hanya dua jenis novel : horor/misteri atau roman "porno". Ketika membaca novel horor saya selalu membayangkannya sebelum tidur, berandai-andai sampai susah tidur, diakhiri dengan mimpi buruk.

Namun kemudian saya menyadari, ketakutan itu hanya rekayasa.

Suatu hari akhirnya saya memberanikan diri membaca Kumpulan Budak Setan. Hanya karena ada nama Eka Kurniawan. Saya selalu merasa beruntung saat maba kami disambut dengan prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh senior yang menghadirkan Eka Kurniawan beserta istrinya sebagai pembicara diskusi. Dari situ saya senang membaca karya-karyanya.

Dari Kumpulan Budak Setan-lah, saya kemudian jatuh cinta pada karya-karya Intan Paramadhita. Dan ketagihan ingin terus membaca tulisannya.

Tulisannya membuat saya menjadi lebih berani melawan ketakutanku sendiri.

Sebab ketakutan hanyalah rekayasa dari penulis novel, penulis scenario film, dan siapapun yang memiliki kepentingan untuk menciptakan rasa takut itu sendiri.

Kali ini saya tidak membuat review buku ini. Hanya ingin merekomendasikannya saja. Beberapa temanku bilang biasa saja.Tapi bagi saya, cara Intan mengemas cerita-cerita lama dengan perspektif baru ini unik, membangkitkan kenangan masa kecil saya. Merekonstruksi kembali ingatan tentang cerita yang sama. 

Dari sebelas cerita buku ini, saya paling suka kisah "Mak Ipah dan bunga-Bunga".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...