Album kedua "The Paps"
Sama seperti sahabat saya Aan, sebagai anak desa yang baru bisa mengakses buku-musik-film yang bagus saat pindah ke kota untuk berkuliah, saya juga menyimpan dendam masa kecil kepada pemerintah yang melaksanakan pembangunan tak merata sehingga kami tidak bisa mengakses tiga hal penting tersebut. Tidak ada perpustakaan, toko kaset, apalagi bioskop di kampung kami. Saya membalas dendam dengan cara meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk menikmati tiga hal tersebut.
Saya
senang menikmati segala jenis genre buku-musik-film. Bagi saya, penting untuk berusaha
menyeimbangkan segalanya. Karena berlebih mengenai sesuatu kadang membuat saya
menjadi tidak waras. Namun jika ingin membanding-bandingkan, tentu saya punya
kecenderungan. Khusus untuk musik, saat tahu ada genre musik asik bernama dub,
saya langsung jatuh cinta, membuat saya penasaran sama Jamaika. Saya senang
membayangkan bagaimana suasana masyarakat di sana saat musik dub muncul? Apa
yang mereka pikirkan sehingga bisa mengkombinasikan alat musik dan menciptakan
reggae, dancehall, ska, sampai turunan-turunannya? Apa yang terjadi di sana
tahun 60-an? Lalu membandingkannya dengan apa yang terjadi di Eropa, Amerika,
serta Indonesia pada kurun waktu yang sama. Saya tidak ingin berhenti mencari tahu.
Ngomong-ngomong
soal genre musik Jamaika, sepertinya saya saja yang terlambat tahu, kalau The
Paps, band yang menjuluki dirinya sendiri “jamaican electic sound” sudah
meluncurkan album keduanya akhir tahun 2015 lalu. Saya baru tahu setelah mereka
manggung di Makassar bulan April lalu untuk ke-7 kalinya sejak tahun 2010.
Album
kedua tersebut berjudul sama dengan nama band-nya: The Paps. Ada 10 lagu siap
putar dalam kepingan bergambar semangka yang diproduksi label Demajors itu.
Fami
pernah bilang bahwa album pertama The Paps “Hang Loose Baby” itu jika ditelisik
pakai mata batin, susunan tracklist nya bukan sembarang tracklist namun sebuah
“Resep Bahagia” dan saya setuju.
Setelah
nyaris 8 tahun, album kedua lahir. Saya sendiri merasa tracklist-nya semacam
tiket untuk melakukan suatu perjalanan keliling dunia. Ketika mendengarnya saya
membayangkan kisah seseorang yang melakukan perjalanan keliling dunia ala backpacker, sendirian dan memilih
lagu-lagu The Paps sebagai teman perjalanannya.
Dimulai
dari Palestine, tanpa vokal, musiknya
menyejukkan namun sekaligus memilukan. Bagaimana tidak? Ia akhirnya menyaksikan
dengan mata kepala sendiri negara yang riuh karena persimpangan agama, budaya, peradagangan,
dan politik.
Itinerary yang ia pilih kali ini dari Palestina, ia
ke Ethiopia, lalu ke Siprus, setelah itu Belanda, Spanyol, turun ke Peru, lalu
ke Meksiko, setelah itu ke Amerika Serika, terakhir Kanada. Ia mengerjakan apa
saja yang bisa ia lakukan sepanjang jalan, agar bisa tetap melanjutkan
perjalanan. Dan musik masih terus terputar.
Dibuai
Di tengah
perjalanan pulang dari benua Amerika menuju Asia, ia memilih singgah di
Kamboja. Di sana ia bertemu sesama backpaker,
keduanya jatuh cinta, lalu memutuskan untuk jalan bersama.
Turn Me On
Dingin
Tapi
bagaimana mungkin mereka sampai lupa untuk bersantai di Montego Bay? Keduanya pun
mengubah itinerary dan tak henti
menertawai moment-moment yang mereka lewati saat melakukan perjalanan seorang
diri. Happiness only real when it share,
mungkin istilah yang sudah basi, tapi tak akan pernah mati.
Di Pantai
Bangkit
Tamasya
Dari Kamboja,
ia memutuskan kembali ke negara asalnya. Sedangkan kekasihnya melanjutkan
perjalanan ke Australia. Keduanya berpisah dengan perasaan yang berat.
Never
Hari yang panjang
Namun
kehidupan harus terus berjalan. Siapa yang tahu ke depan mereka akan bertemu
kembali? Harapan itu yang membuat ia bersemangat untuk tetap melanjutkan hidup.
Lebih dari
PS: Dari 10 lagu dalam album baru ini
saya paling suka lagu berjudul Bangkit : dub nya begitu kental dan manis J
Komentar
Posting Komentar