Langsung ke konten utama

Do It Yourself, terdengar sangat keren tapi…

*Tulisan ini untuk memenuhi permintaan teman-teman Pena Hitam Makassar (entah kenapa sampai sekarang masih belum terbit hehehe...)


Haruskah saya menjelaskan kembali mengapa hidup dengan etos DIY itu penting? Saya pikir sudah banyak zine yang menjelaskan perihal ini, saya akan menceritakan kembali tidak ada hal baru yang ingin kusampaikan.

Pada sebagian orang yang lebih suka nyinyir duluan sebelum mencari tahu lebih dekat dan lebih dalam mengenai pilihan hidup seorang lain, ketika mendengar kata DIY tak jarang muncul cemohan seperti ini “Halah, sok sok DIY padahal besok besok beli juga!”

Oke kita tinggalkan komentar nyinyir dan let’s move on!

DIY adalah singkatan dari Do It Yourself alias bikin sendiri. Namun istilah bikin sendiri ini tidak sesempit pikiran orang yang suka nyinyir. Maknanya luas! Etos DIY ini muncul dari hasil tanggapan seseorang akan kehidupan yang dilihat atau dijalaninya.

Ketika seseorang tidak menyukai sesuatu, maka tanggapannya bisa jadi tidak setuju atau terpaksa setuju. Misalnya saya tidak suka makan buah kaleng yang dijual di supermarket, karena saya tahu prosesnya pembuatannya membutuhkan zat pengawet yang mungkin saja berbahaya bagi tubuh saya. Jika saya tidak setuju mengonsumsi buah kaleng, saya akan ke pasar tradisional untuk membeli buah yang segar atau menanamnya sendiri.

Namun tidak hanya sampai di situ. Pilihan saya tidak mengkonsumsi buah kaleng bisa jadi karena :
  •  Didasari oleh kesadaran bahwa proses buah segar sampai menjadi buah kaleng memerlukan waktu panjang, ada banyak energi yang dibutuhkan untuk mengolahnya, ada ratusan liter air digunakan dalam pabrik pengalengan, dan hal ini menjadi pemicu kerusakan lingkungan;

  • .       Belum lagi jika saya khawatir pekerja di pabrik tersebut mendapatkan upah yang tidak layak dari bos nya sehingga saya bisa mengkonsumsi buah kaleng dengan harga yang menurut saya murah-murah saja tapi ternyata di balik itu ada pekerja yang harus menahan lapar karena gajinya tidak mencukupi;

  •      Atau karena memang buah kaleng harganya mahal, saya tidak sanggup/malas bekerja banting tulang hanya untuk mengumpulkan uang agar bisa mengkonsumsi buah dengan image “steril dan bermerek”;

  • .   Saya ingin menikmati proses mengupas buah segar bersama pasanganku lalu mengolahnya menjadi rujak atau es buah. Hal ini terasa sangat romantis menurutku daripada hanya membuka kaleng lalu makan, hap, selesai. Tidak seru…  

Dan banyak lagi pertimbangan yang membuat seseorang akhirnya memilih “bikin sendiri”, mulai dari alasan personal sampai pada pertimbangan sosial politik, dan itu adalah hak siapa saja. Hal ini bisa berdampak baik pada diri sendiri juga pada orang lain, serta demi kebaikan tanah, air, dan udara di bumi.

Konsumsi bukan sekedar persoalan makan dan minum. Saat ini (termasuk saya tentu saja) apa yang kita lakukan tidak lepas dari perilaku konsumtif baik makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal beserta isinya, ibadah, pendidikan, sarana hiburan, dan semuanya.

“Menjadi konsumen yang cerdas!”

Mungkin menjadi slogan yang konon sia-sia belaka, hanya sebagai trik untuk membeli barang atau apapun yang berbau alternatif. Yup tentu kita tidak akan keluar dari perilaku jual-beli selama uang masih beredar sebagai alat tukar. Tapi bagi saya, tetap kembali pada niat si konsumen. Jika mengonsumsi sesuatu berbau “alternatif” hanya untuk keren-kerenan memang kasihan, tapi jika niatnya benar-benar ingin melihat relasi jual beli yang lebih baik, tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang untung berlebihan, kenapa tidak?

Lebih baik membeli buah pada pedagang di pasar tradisional yang untungnya mungkin tidak seberapa bagi dia namun cukup untuk menghidupi keluarganya, daripada membeli di supermarket yang untungnya sudah besar dan yang menikmatinya cuma CEO yang selalu ingin menambah barang mewah di rumahnya.

Karena hidup adalah pilihan, kita bisa memilih ikut terlibat secara penuh atau mengurangi. Dan saya memilih untuk mengurangi. Pertama agar saya bisa berhemat, lalu dengan berhemat saya bisa lebih banyak waktu luang untuk bersenang-senang dengan orang terkasih, dan dari situ saya merasa terhindar dari stress. Bukankah kita stres karena terlalu terlalu berharap banyak (memiliki barang atau memiliki banyak rencana jalan-jalan misalnya) sedangkan kenyataan berkata lain?

Saya menyenangi kegiatan bikin sendiri atau melakukannya secara kolektif bersama teman-teman sendiri aga hasilnya bisa dinikmati bersama.

Yup… Kurang lebih seperti itu. Perihal buah kaleng tadi bisa berlaku pada banyak hal yah, sekali lagi mari berpikir lebih luas, jangan hanya bisa nyinyir karena pikiran yang terlalu sempit. Nyinyir beda dengan kritis yah. Saya senang pada orang yang kritis, tapi nyinyir? Hanya buang waktu dan energi. 

Faktanya, meski semangat untuk ber-DIY tapi saya kadang mengkonsumsi buah kaleng, entah saat ikut mengkonsumsinya karena orang di rumah yang membelinya, sedang buru-buru karena kepalaran di tengah jalan dan yang dijual hanya itu atau karena tidak ada pilihan lain. Maksudnya, saya pun tidak terlalu kaku dengan etos DIY ini.

Saya hanya berusaha melakukan apa yang bisa kulakukan setiap harinya, membuat dekorasi sendiri, membuat tas sendiri, membuat sabun sendiri, mendaur ulang sendiri, membuat acara sendiri, membuat media sendiri, saya akan meluangkan waktu untuk apapun yang masih bisa kulakukan sendiri. Dan berharap menjadi salah satu individu yang paling bahagia yang pernah hidup.


Dan semua orang bisa melakukannya, tergantung ia ingin memilih untuk melakukannya atau tidak sebab kita tidak bisa mengubah dunia, tapi kita HARUS mengubah dunia (paling tidak dari dunia yang sempit menjadi lebih sedikit luas) Hahhay… 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Frasa Drop the Bass Line dan nostalgia EDM

Saat saya berulang tahun kemarin, diantara semua ucapan selamat, Sami yang paling berkesan menurutku. Dia bilang begini: “Selamat Ultah Mba Eka, Jaya Selalu, Drop the Bass Line Selalu” Lalu dilanjutkan dengan obrolan panjang kami tentang musik dub, seperti biasa. Oke. Tidak ada bahagia selalu, sehat selalu. Yang ada malah ketemu sama "Jalasveva Jayadub" yang membuat mood ku sangat ceria seharian kemarin :D Well, saya memang tidak begitu lama mengenal Sami, baru beberapa minggu terakhir sejak diperkenalkan oleh Dindie. Tapi saya sudah tahu Roadblock DubCollective sejak beberapa tahun lalu dan Sami adalah bagian dari itu. Saya sering mendengar istilah “Drop the Bass” dan sering menemukannya menjadi meme yang beredar di dunia maya. Saya pernah mencari tahu tentang asal-usul istilah ini dan beruntung ada banyak artikel yang membahasnya. Bahwa "Drop the Bass" menjadi slogan yang terkait dengan penurunan, atau titik klimaks pada trek musik elektro

Gadis Bugis dan Anarkis Feminis

Dulu saya tidak suka mendengar kata aktivis seperti halnya saya tidak menyukai kata feminis, LGBT, ganja, anarkisme, dan segala hal yang “dibenci” oleh masyarakat umum. Sialnya saya terjebak di perpustakaan, membaca banyak literatur dan membuat segala hal yang awalnya kubenci karena tidak kuketahui, menjadi sesuatu yang biasa saja. Saya merasa sial karena pikiranku akhirnya dipenuhi dengan agenda untuk merubah segala sesuatunya, yang rasanya tampak mustahil. Tapi apa yang lebih memalukan daripada mengingkari ilmu pengetahuan? Dalam KBBI, aktivis berarti orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Sebenarnya tulisan ini bermula dari obrolan saya bersama tim riset Active Society Institute dan MAUPE Maros. Saya bergabung membantu Active Society Institute dalam riset berjudul Kerentanan Kehidupan Perempuan Pedagang di Pasar Terong dan us

Tentang Katakerja yang Berusia Satu Tahun Kini

… … I at twenty four, was insecure to whatever it takes Come on now, wake up wake up Shut up shut up, it’s time smell the coffe … … Smell The Coffee – The Cranberries Sejak kecil saya senang mendengar lagu-lagu The Cranberries, mungkin karena itu pula saya merasa lirik lagu-lagunya menjadi penting dan mempengaruhi hidupku. Termasuk lagu di atas, saya menjadi sangat bersemangat ingin segera merasakan bagaimana saat saya berusia 24 tahun saat SMA. Apakah juga merasakan hal yang sama seperti pada lagu itu? Saya kemudian sampai pada usia yang kuidamkan itu, setahun lalu. Apa yang terjadi? Di usia 24 tahun saya baru bisa menyelesaikan kuliah, menjadi sarjana sastra. Di usia 24 tahun seorang teman yang sudah lama tak kutemui tiba-tiba mengajak saya bergabung mewujudkan idenya : katakerja. Inilah yang terjadi. Aan mengajak saya mampir dan memajang beberapa karya kriya saya di sebuah rumah sekaligus kantor AcSI. Tentu langsung ku-iyakan. Ini kesempatan saya bisa bern