Langsung ke konten utama

Tentang Abracadubra


Berkat obrolan panjang semalam bersama @dindiepop dan @yuliussamiaji tentang dub, saya jadi ingat sama projekan iseng Abracadubra ini. 
 
Zine ini awalnya ingin kujadikan zine khusus memuat tulisan-tulisan saya tentang Dub. Sejak tahun 2010 saya benar-benar menyukai genre musik itu. Tapi karena saat itu saya merasa tidak punya banyak teman untuk ngobrol soal Dub, tidak punya banyak referensi, akhirnya nama Abracadubra kujadikan zine tentang hasil penelitian saya saat mengerjakan tugas akhir kuliah mengenai naskah Bugis kuno "lontara" yang berisi ramuan obat-obat tradisional. Kupikir cukup nyambung juga mengingat kata "abracadabra" adalah mantra tertua di dunia. Zine kedua tentang khasiat semangka yang kubuat saat bekerja di Desa Purwodadi, Jambi. Zine ketiga tentang khasiat pisang saat saya penelitian di Desa Soga, Soppeng dan tinggal di rumah petani yang memiliki kebun pisang aneka macam.

Hari ini saya begitu senang karena berkat mereka, saya bersemangat lagi untuk kembali menulis tentang dub dan berpikir akan membuat zine Abracadubra 4. Mungkin tentang hasil pengamatan saya melihat Bapak ku meramu sendiri obat dari bahan alami melawan penyakit nya sejak 10 tahun terakhir: diabetes.

Terima kasih Dindie dan Sami atas energi positif ini. Juga @davesyauta sahabat pena yang jauh di mata dekat di hati, karena tidak berhenti mengirim energi yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...