Langsung ke konten utama

Tentang Pessi, Banana Wine, dan Beberapa Musik Dub Favoritnya



Jika kamu sudah pernah membaca tulisanku yang berjudul "Tentang The Paps dan Tiket Trip Keliling Dunia", pasti kamu juga sudah tahu bahwa pernah ada masa ketika saya sangat penasaran dengan Jamaika.

Untuk menjawab rasa penasaran itu, saya meluangkan banyak waktu untuk berseluncur mencari tahu, termasuk menonton berbagai video para vlogger Jamaika di YouTube untuk mengetahui bagaimana sih suasana kota Kingston itu?

Pada masa itu pula saya selalu berharap ada teman couchsurfing yang datang dari Jamaika berkunjung ke Makassar. Tapi sampai saat ini belum pernah ada yang mengirimkan saya request.

  Kemudian Januari 2017 lalu saya kedatangan seorang teman dari Jerman, sebenarnya dia asli Finlandia namun lebih memilih tinggal di Jerman. Dia adalah teman serumah sahabat kami, Oliver. Namanya Pessi, saat itu ia sedang berkuliah singkat belajar Bahasa Indonesia di Jogja dan sedang liburan, ia memilih Makassar untuk destinasi selama liburannya, berkat rekomendasi Oliver tentu saja. Ia datang juga bertepatan saat kami ingin me-launching Bank Sampah RnC. Bank sampah yang akhirnya terwujud berkat bantuan Solidarity Gigs yang Oliver dan kakaknya adakan di Jerman bulan September 2016.

Pessi ternyata seorang alumni jurusan teknologi bir di Jerman. Maka ketika ia menginap di rumah kami selama beberapa hari, kami memintanya mengajarkan kami membuat minuman fermentasi sederhana. Ia pun menyanggupi. Kami diajarkan membuat minuman fermentasi buah pisang yang rasanya sangat enak. Benar-benar sederhana, hanya butuh buah pisang yang sudah matang dan manis, gula, air panas, dan ragi. Caranya? Juga mudah, pisang dihaluskan lalu dituangkan air panas dan gula pasir. Keesokan harinya tinggal dibubuhi ragi kemudian wadah yang diyakini aman dari bakteri lain itu ditutup hingga 1-2 minggu. HLain kali saya akan tuliskan lebih detail prosesnya. Kali ini sebenarnya saya hanya ingin fokus bercerita tentang obrolan saya dengan Pessi mengenai musik dub.

Jadi setelah sekian lama menjadi tuan rumah bagi siapapun yang kami kehendaki, terutama teman-teman couchsurfing, ini kali pertama saya bertemu teman yang sama-sama menyukai musik dub. Walaupun menurut Pessi saat ini dia tidak lagi setergila-gila dulu saat ia masih remaja mendengar musik dub.

Saya sangat senang, kami lalu bercerita tentang band/musisi/dub scientist favorit kami. Dia juga sudah pernah berkunjung ke Jamaika dan bercerita bahwa kota Kingston tidak begitu damai dan keren seperti yang ia bayangkan. Ada banyak masalah, perang antar geng/kelompok misalnya. Ya tapi kupikir di negara manapun pasti ada masalah. Saya tertarik pada Jamaika murni karena di sana banyak lahir musik-musik keren menurutku.

Dia juga meminta rekomendasi musik dub dari Indonesia untuk didengarkan. Saya menyebutkan beberapa favorit saya saat itu: Anjing Dub, Kusni Kasdut, Dub Youth, RoadblockDub Collective, dan Tragic Soundsystem tentu saja.

Kemudian dia memberikan saya beberapa link musik dub favoritnya juga. Mulai dari High Tone dan Zenzile dari Perancis, musik-musik dari label Jahtari, Jerman, musik-musik yang diproduseri oleh Mungo's Hi Fi, Skotlandia, dan dua penyanyi perempuan yang kemudian menjadi favoritku juga saat ini: MC Soom T dari Skotlandia dan Kiki Hitomi dari Jepang.

Minuman fermentasi ubi ungu buatan teman-teman di Jogja yang kami cicipi saat menunggu penampilan Anjing Dub pada acara Lady Fast, Bandung bulan Mei lalu. 

Pessi juga banyak bercerita tentang betapa serunya menonton konser Sister Nancy secara langsung serta betapa Lee "Scratch" Perry terlalu dielu-elukan di Eropa, apapun yang ia jual pasti laku dan mahal-mahal hahaha...

Saat ini ia sudah pindah ke Brazil bersama kekasihnya, Clara. Mereka berencana membuat usaha bir rumahan di sana. Sesekali ia masih mengirimkan kabar dan memberikan link musik dub untuk kudengar. Dia sangat baik yah...

Satu lagi, belakangan saya senang menonton video-video klip Hempress Sativa, sambil masih berandai-andai, kapan bisa ke Jamaika yah? :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Frasa Drop the Bass Line dan nostalgia EDM

Saat saya berulang tahun kemarin, diantara semua ucapan selamat, Sami yang paling berkesan menurutku. Dia bilang begini: “Selamat Ultah Mba Eka, Jaya Selalu, Drop the Bass Line Selalu” Lalu dilanjutkan dengan obrolan panjang kami tentang musik dub, seperti biasa. Oke. Tidak ada bahagia selalu, sehat selalu. Yang ada malah ketemu sama "Jalasveva Jayadub" yang membuat mood ku sangat ceria seharian kemarin :D Well, saya memang tidak begitu lama mengenal Sami, baru beberapa minggu terakhir sejak diperkenalkan oleh Dindie. Tapi saya sudah tahu Roadblock DubCollective sejak beberapa tahun lalu dan Sami adalah bagian dari itu. Saya sering mendengar istilah “Drop the Bass” dan sering menemukannya menjadi meme yang beredar di dunia maya. Saya pernah mencari tahu tentang asal-usul istilah ini dan beruntung ada banyak artikel yang membahasnya. Bahwa "Drop the Bass" menjadi slogan yang terkait dengan penurunan, atau titik klimaks pada trek musik elektro

Gadis Bugis dan Anarkis Feminis

Dulu saya tidak suka mendengar kata aktivis seperti halnya saya tidak menyukai kata feminis, LGBT, ganja, anarkisme, dan segala hal yang “dibenci” oleh masyarakat umum. Sialnya saya terjebak di perpustakaan, membaca banyak literatur dan membuat segala hal yang awalnya kubenci karena tidak kuketahui, menjadi sesuatu yang biasa saja. Saya merasa sial karena pikiranku akhirnya dipenuhi dengan agenda untuk merubah segala sesuatunya, yang rasanya tampak mustahil. Tapi apa yang lebih memalukan daripada mengingkari ilmu pengetahuan? Dalam KBBI, aktivis berarti orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Sebenarnya tulisan ini bermula dari obrolan saya bersama tim riset Active Society Institute dan MAUPE Maros. Saya bergabung membantu Active Society Institute dalam riset berjudul Kerentanan Kehidupan Perempuan Pedagang di Pasar Terong dan us

Tentang Katakerja yang Berusia Satu Tahun Kini

… … I at twenty four, was insecure to whatever it takes Come on now, wake up wake up Shut up shut up, it’s time smell the coffe … … Smell The Coffee – The Cranberries Sejak kecil saya senang mendengar lagu-lagu The Cranberries, mungkin karena itu pula saya merasa lirik lagu-lagunya menjadi penting dan mempengaruhi hidupku. Termasuk lagu di atas, saya menjadi sangat bersemangat ingin segera merasakan bagaimana saat saya berusia 24 tahun saat SMA. Apakah juga merasakan hal yang sama seperti pada lagu itu? Saya kemudian sampai pada usia yang kuidamkan itu, setahun lalu. Apa yang terjadi? Di usia 24 tahun saya baru bisa menyelesaikan kuliah, menjadi sarjana sastra. Di usia 24 tahun seorang teman yang sudah lama tak kutemui tiba-tiba mengajak saya bergabung mewujudkan idenya : katakerja. Inilah yang terjadi. Aan mengajak saya mampir dan memajang beberapa karya kriya saya di sebuah rumah sekaligus kantor AcSI. Tentu langsung ku-iyakan. Ini kesempatan saya bisa bern