Langsung ke konten utama

Lebih Baik tak Makan daripada tak Ma'pangan, Kata Ori

Tulisan kelima,
Tujuh tahun terakhir ini orang tua saya menetap di Toraja, tepatnya di sekitar pasar Makale
pemandangan unik yang sering kulihat adalah seorang nenek mengunyah sirih sambil melakukan aktivitas
itu membuat saya tertarik untuk menuliskannya
lumayan banyak komentarnya, silahkan buka panyingkul.com



Di sela kegiatannya memintal benang yang selanjutnya ditenun menjadi ikat-kain khas Toraja, Ori wanita berumur 42 tahun juga dengan lincah meramu “cemilan” hariannya. Secuil bolu buah (buah sirih) ditambahkan sedikit kapur sirih, lalu dibungkus daun sirih. Sesederhana ini. Ori lalu memulai ma’pangan, menggosok gigi dengan sirih. Wajahnya tampak bersemangat, tangan kiri memintal benang dan tangan kanan menggosok gigi. Dua pekerjaan dilakukan dalam satu waktu, suatu perpaduan yang menarik.

Ori mengaku sejak berumur 10 tahun melakukan rutinitas spesial satu ini. Ma’pangan. Saat itu ia sakit gigi, orang tuanya memberi solusi untuk memakai sirih sebagai obat. Alhasih sembuh dan ia ketagihan. Sudah 32 tahun lamanya ia tak pernah mengeluhkan terjadi sesuatu pada giginya. Bahkan ia merasa deretan giginya semakin kokoh karena ma’pangan. Buktinya hingga kini, giginya tak ada yang ompong.

“Lebih baik tidak makan daripada tidak ma’pangan,” katanya.

Lain lagi halnya dengan Bunga,35 tahun. Sekitar usia 17 tahun ia mencoba sirih lantaran ikut-ikutan teman sebayanya. Meski awalnya ia muntah-muntah, namun hingga kini wanita yang berprofesi sebagai penenun itu tetap bertahan ma’pangan.

Di Toraja, pemandangan ibu-ibu mengunyah sirih bukanlah hal asing. Setiap hari Anda bisa mendapati ibu-ibu melakukan rutinitas unik ini. Terlebih pada saat ada acara besar, seperti rambu solo (upacara kematian masyarakat Toraja) dan rambu tuka (pesta pernikahan dan ulang tahun). Jika untuk kaum pria disediakan rokok, maka untuk kaum wanita akan tersedia segala bahan untuk ma’pangan.

Pada hari pasar di Makale, Anda bisa menemui kurang lebih 20 penjual bahan ma’pangan. Para pedagang ini berasal dari berbagai daerah pelosok Toraja. Namun jika di hari biasa, para pedagang sirih adalah orang-orang dari sekitar pasar Makale. Salah satunya Nisa, 25 tahun.

Bisa dikatakan dagangan Nisa lengkap untuk kebutuhan Ma’pangan. Bolu (Daun Sirih, Piper Betie), Kapur Sirih, Gatta (Gambir, Uncaria Gambir), Kalosi (Pinang, Arecha Catechu), dan Bolu Buah (buah sirih). Kelima bahan tadi adalah bahan ma’pangan terlengkap. Namun terkadang para penikmat sirih tak menggunakan seluruh bahan tersebut.

Lima bahan di atas baru untuk tahap awal ma’pangan. Penikmat ma’pangan menelan liur pertama yang dihasilkan dari kunyahan daun sirih dan kawan-kawan. Setelah itu air liur terserap daun tembakau kering. Begitu seterusnya, seraya sirih dikunyah, tembakau digosokkan ke gigi agar air liur tidak jatuh karena melengket di tembakau. Setelah sari daun sirih habis atau tak lagi menghasilkan air liur, ampasnya dibuang. Proses ma’pangan ini biasanya menghabiskan waktu 30 menit.

Meskipun kesehariannya bergelut dengan sirih, namun Nisa bukanlah orang yang senang mengunyah sirih. Pernah ia mencoba, namun yang ia rasakan bukannya ketagihan, malah rasa pusing dan akhirnya ia muntah-muntah. Rasa sirih yang sangat pekat membuatnya tidak terbiasa dan asing.

Kurang lebih sudah 4 tahun Nisa menggeluti pekerjaan ini. Bahan yang tahan lama dan tidak merepotkan adalah alasan Nisa menekuni berdagang sirih. Rata-rata bahan ma’pangan dapat bertahan selama 2 pekan. Bahkan daun tembakau bisa bertahan selama bertahun-tahun. Selain itu pemakaian daun tembakau ini sangatlah hemat. Setelah dipakai, dijemur, lalu bisa dipakai sekali lagi.

Berdagang sirih bisa dikatakan menguntungkan. Walaupun pembelinya kebanyakan hanya wanita berumur 35 tahun ke atas. Namun setiap hari selalu saja ada penggemar sirih datang mencari. Terutama daun sirih dan buah pinang. Juga pada bulan-bulan tertentu, seperti September (yang dikenal musim kopi di Toraja) dan bulan Desember (Natal dan Tahun Baru), sirih dan kawan-kawan senantiasa naik daun. Lagipula Nisa tak perlu repot mengunjungi tempat pedagang utama sirih untuk berjualan, sebab distributornya akan datang setiap hari pasar untuk menwarkan dagangan.

Tiga alasan utama mengapa ma’pangan masih digemari hingga kini. Orang tua dulu percaya bahwa sirih akan menguatkan gigi, menghilangkan bau mulut, dan sarinya menjadikan tubuh bersih dari dalam. Meskipun kadang gigi akan merah kehitaman yang diakibatkan oleh kapur. Namun kulit dari buh pinang bisa mengatasinya. Kulit pinang digunakan sebagai penggosok gigi setelah kegiatan ma’pangan usai.
Selain untuk ma’pangan, barang dagangan Nisa juga dicari-cari untuk keperluan lain. Seperti daun sirih yng bisa menjadi pembersih mata. Buah pinang sebagai obat sakit gigi. Buah sirih untuk mengobati jerawat, sariawan, dan lever. Serta gambir untuk obat penyakit maag.

Harga bahan-bahan ma’pangan ini pun relatif murah. Daun sirih per ikat yang biasanya berisi 10 lembar hanya Rp500. Kapur sirih perbungkusnya Rp2000, tentunya ini sangatlah murah sebab sekali pakai yang digunakan sangatlah sedikit. Buah pinang satu takar seharga Rp5000 isinya kurang lebih 25 biji. Sebiji gambir hanyalah Rp1000 dan digunakan secuil sekali pakai. Sama halnya dengan gambir, buah bolu yang dipakai secuil seharga Rp5000 per ikat dan isinya 30 biji. Terakhir tembakau ukuran kecil seharga Rp3000 per 3 lembar, sedangkan untuk ukuran besar Rp5000 per 4 lembar. Jadi bisa dikira-kira satu kali ma’pangan hanya menghabiskan uang Rp500.

Bagaimana? Anda tertarik untuk mencoba cemilan satu ini? Dijamin tidak menjadikan berat badan anda bertambah.(p!)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...