Langsung ke konten utama

Mencari Sutra Asli di Desa Pasaka

Ini tulisan kedua!
senangnya karena bisa menulis sesuatu yang kusukai dan berkaitan dengan kampung halamanku
jika anda ingin melihat komentar pembacanya silahkan kunjungi Panyingkul.com


Dua bulan yang lalu saya mendapat hadiah sarung sutra dari ibu. Katanya bukan orang Sengkang Wajo kalau tidak punya sa’be, begitu orang Bugis menyebut kain sutra. Namun ketika saya memperlihatkannya pada seorang tante, ia bilang hadiah itu bukanlah sutra asli. Kainnya terlalu lembek.

Akhirnya dalam kesempatan liburan ke Sengkang bulan lalu, saya pulang kampung membawa sarung sutra itu. Tujuan saya, menemui penenun sutra di kabupaten Wajo untuk mencari tahu, seperti apa gerangan sutra yang asli itu.

Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo dikenal sebagai kota sutra. Kabupaten ini memang penghasil sutra utama di Sulawesi Selatan. Hampir setiap kecamatan memiliki usaha tenun.

Di sejumlah kawasan kota Sengkang, kita akan disambut dengan ramainya suara alat tenun yang ada hampir di setiap kolong rumah penduduk.

Taktak…tuktuk..taktak…tuktuk… Begitu bunyi alat tenun tradisional itu.

Jika ingin melihat kegiatan penenun yang paling ramai, Anda bisa mengunjungi Sempange. Di sana Anda sekaligus bisa berbelanja sutra secara langsung dari pemilik pusat pertenunan. Ada beberapa toko sutra terkenal di daerah yang terletak di perbatasan kota Sengkang ini.

Namun untuk membandingkan keaslian sutra milik saya ini, saya lebih memilih mengunjungi desa Pasaka, kecamatan Sabbangparu. Di sana saya punya banyak sanak keluarga yang berprofesi sebagai penenun. Jumlah penenun di desa ini tak kalah banyak dibandingkan di Sempange. Hanya saja nama desa ini kurang dikenal karena letaknya lumayan terpencil dari kota Sengkang. Lagipula jalanan menuju desa ini belum mulus. Karena letaknya tak jauh dari sungai, maka bila sungai meluap di musim hujan, terkadang air naik ke permukaan jalanan.

Di rumah seorang tante di desa Pasaka terdapat alat tenun. Orang Bugis menyebutnya tennung bola-bola yang arti harfiahnya “alat tenun rumah-rumahan” –mungkin karena modelnya seperti kerangka rumah atau karena ditempatkan di kolong rumah. Saya lalu memperlihatkan sarung sutra hadiah dari ibu itu. Beberapa penenun yang sedang berkumpul beristirahat secara bersamaan mengatakan itu bukan sarung sutra asli, meski bahannya sutra juga.

“Tongeng sa makkeda sa’be ero, tapi’na narekko idi pakkibu sa’be masitta yisseng makkeda palsunna ero.”

Maksudnya, “Memang itu adalah sutra, tapi kami yang penenun sangat mudah mengetahui ini sutra palsun.” Demikian kata salah seorang penenun di sana.

Saat ini kebanyakan penenun sutra Sengkang tak lagi menenun benang sutra asli dalam negeri. Juga tak semua komponen kain berbahan sutra. Hal ini dikarenakan produsen benang sutra dalam negeri sudah sulit ditemukan. Tentunya harga bahan bakulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Mau tak mau para penenun pun harus mencari akal agar tak rugi.

Immas, salah satu penenun sutra di desa Pasaka sedang mengerjakan tenunan dengan benang sutra India. Jenis kain yang ia buat pun bukanlah sarung. Melainkan kain untuk bahan pakaian.

Menenun adalah pekerjaan yang sulit. Sebelum memulai kegiatan dorong tarik jakka tennung atau sisir tenun, benang helai per helai dimasukkan dalam tiap are’. Selanjutnya helai per helai kembali dimasukkan dalam sisir tenun. Ini khusus untuk tennung bola-bola atau tenun rumah-rumahan.

Biasanya tennung bola-bola lebih banyak digunakan untuk membuat berpuluh meter kain. Sedangkan untuk membuat sarung menggunakan tennung walida, tenunan ini tidak terlalu banyak menggunakan alat besar dan rumit seperti tennung bola-bola.

Namun Immas lebih memilih menenun menggunakan tennung bola-bola karena menggunakan alat ini ia tak perlu mengeluarkan modal materi sepeser pun. Segala sesuatunya dibiayai oleh tetangganya yang memang disebut bos tennung. Mulai dari alat tenun sampai pada benang ditanggung oleh sang pemilik tenunan. Immas hanya tinggal menenun benang yang telah disediakan.

Bos tennung Immas bernama Cora. Ia memiliki banyak tennung bola-bola dan dipinjamkan pada orang-orang yang ingin menenun. Immas membawa tennung bola-bola pinjaman Cora ke kolong rumahnya agar ia bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah di sela kesibukannya menenun.

Kali ini Cora memberikan pekerjaan tenun kain sepanjang 150 meter kepada Immas. Dalam sehari Immas hanya mampu menenun sepanjang 4- 5 meter. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku belum terlalu lihai menenun, jika dipaksa untuk menenun banyak, hasilnya tidak akan memuaskan. Kadang-kadang setelah cukup 20 meter, Cora akan datang untuk memotong kain yang telah jadi. Immas digaji Rp2500 per meter. Sedangkan hasil tenunan Immas dijual seharga Rp25.000 per meter. Tentu saja keuntungan penjualan itu menjadi hak bos tennung sepenuhnya.

Sebagian besar perempuan seusia Immas dan belum berkeluarga di desa ini lebih memilih menjalani profesi penenun. Meskipun ada satu dua yang bekerja di kota Sengkang sebagai penjaga toko. Mereka merasa terbantu dengan kehadiran para bos tennung. Katanya, lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di desa ini saya juga bertemu penenun yang sudah renta. Ia dipanggil Fukkami’ oleh orang yang lebih muda.

Di wilayah kampung Wage-nama dulu desa Pasaka, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun berusia lanjut yang masih menenun. Namun ia lebih memilih memakai tennung walida karena ia bisa menenun di teras rumahnya. Mengingat ia juga tidak terlalu banyak memiliki tenaga untuk menginjak ajena tennung bola-bola, pedal yang harus secara terus menerus diinjak oleh penenun.

Kini, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun yang masih menggunakan tennung walida di desa ini. Menenun dengan menggunakan tennung walida membutuhkan banyak proses. Tenunan ini milik Fukkami’ pribadi. Seluruh proses produksi hingga penjualan, ditangani sendiri oleh perempuan ini.

Untuk membuat sebuah sarung sutra, Fukkami’ membutuhkan waktu 10-30 hari. Sarung yang ia buat adalah sarung sutra asli. Selembar sarung ia jual seharga Rp300.000-Rp400.000. Dari hasil penjualan selembar sarung saja, ia mengaku sangat terbantu untuk membiayai hidupnya seorang diri, setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya merantau di Kalimantan.

“Biasanya banyak orang seumuranku menenun tetapi kini semuanya sibuk mengurus anaknya. Saya sendirian saja, tidak lagi mengurus apa-apa,” tutur Fukkami’ sambil memperlihatkan beberapa sarung karyanya.

Sayang sekali ketika saya datang, Fukkami’ telah merapikan seluruh alat tenunnya. Ia baru saja selesai mengerjakan selembar sarung sutra.

Saat saya membandingkan sarung sutra yang ada di tangan, ternyata memang sangat berbeda sarung sutra buatan Fukkami’. Sarung buatannya mengkilap dan agak keras. Sedangkan milikku lembek dan tidak memancarkan kilau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...