Langsung ke konten utama

Ulasan Buku Hiroshima

Selanjutnya di blog ini, saya ingin mulai menulis review buku dan film. Ini review buku yang pernah kubuat di tahun 2008 lalu saat sedang mengikuti kelas menulis dan kuposting di blog lama. Tentu saja setelah membaca ulang lagi review buku ini, saya merasa ada beberapa hal yang tidak lagi sejalan dengan yang kupikirkan dulu, perubahan. Tapi sudahlah... Saya hanya ingin bermain-main dengan kenangan atas diri saya melalui semua yang pernah kutulis. ;)

Setelah tiga hari, akhirnya buku ini kelar kubaca. Buku John Hersey, Hiroshima. Ini prestasi tertinggi yang kucapai membaca buku non-fiksi. Seandainya bukan tugas dari Kak Dandy, saya yakin buku ini masih berada dalam deretan buku yang kutunda untuk dibaca. Kebiasaanku akhir-akhir ini, menunda, menunggu waktu yang tepat untuk menyeleasikan bacaaan. Tanpa mencari kapan waktu tepat itu hadir. :(
Hiroshima adalah buku yang ditulis dalam bentuk jurnalisme sastrawi. Saya sadar, terlambat membaca buku ini. Hiroshima sendiri sebelum dibukukan, telah dimuat di The New Yorker setahun setelah peristiwa bom di Hiroshima terjadi.

Adalah nona Sasaki, pendeta Tanimoto, dokter Fujii, nyonya Nakamura, pastur Kleinsorge, dan dokter Sasaki yang kisahnya diceritakan dalam buku ini. Keenam orang tersebut adalah sebagian orang yang beruntung selamat dari pengeboman ganas itu. 

Buku ini mengupas kisah keenam orang di atas sebelum dan setelah bom dijatuhkan. 

Buku ini terbagi dalam empat bab. 

Bab pertama yang berkisah tentang perasaan tak tenang selalu menghantui akibat peperangan. Perasaan was-was selalu hadir tiap saat, membuat mereka tak nyaman dan tak dapat beristirahat dengan tenang. Belum lagi berbagai masalah yang sudah muncul sebelum pengeboman terjadi. Keenam orang yang berbeda, masing-masing memiliki permasalahan yang berbeda pula. Mulai dari persediaan makanan yang terbatas sampai pada rasa lelah akibat pulang pergi ke tempat pengungsian saat sirine berbahaya dibunyikan, ternyata tak terjadi apa-apa. Tak ada yang merasakan kenyamanan. Sampai pada saat bom dijatuhkan. Semua berubah. Bab ini mendeskripsikan kisah apa yang mereka lakukan saat detik-detik sebelum bom dijatuhkan dan apa yang mereka lakukan setelah bom jatuh dengan menghadirkan sebuah kilatan putih dan mengguncangkan seluruh Hiroshima.

Bab selanjutnya yang oleh penulis memilih Api sebagai judul bab ini, menuturkan kebingungan keenam orang ini atas apa yang terjadi. Menceritakan tentang usaha keras mereka menyelamatkan diri. Jatuh bangun agar bisa selamat dari reruntuhan yang menindih sebagian tubuh dari mereka. Saya yakin saat peristiwa itu terjadi ada yang menganggap bahwa saat itu adalah kiamat, pasti tak lama kemudian meralat anggapannya. Sebab mereka masih punya rasa tanggung jawab pada orang sekitar. Tak ada yang mementingkan diri sendiri. Sedangkan yang sering dikabarkan jika kiamat tiba adalah manusia tak saling peduli lagi.

Amat perih menyaksikan pemandangan menyeramkan seperti yang terjadi tangal 6 agustus 1945 di Hiroshima tepat pukul 8.15 pagi itu. Semuanya berantakan. Pendeta Tanimoto yang tak mengalami luka sama sekali sesaat tak percaya atas apa yang ia lihat, kemudian berlari menuju bukit agar bisa melihat seluruh permukaan lingkungannya. Ternyata bukan hanya di daerah tempat tinggalnya ia bisa melihat pemandangan aneh itu, tapi hampir seluruh Hiroshima, hancur dan berantakan. Pada bab ini juga menceritakan betapa sulitnya mencari bantuan medis dan tempat aman untuk berlindung sebab sangat kurang tempat yang layak untuk digunakan. Masing-masing berusaha menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Bahkan dengan berat hati sebagian tak dapat mereka tolong saking banyaknya orang yang membutuhkan dan terbatasnya sesuatu yang bisa mereka korbankan untuk memberikan pertolongan. Banyak orang yang harus menunggu bantuan selama berhari-hari dan akhirnya meninggal dalam diam dan harap. 

Bab ketiga mengisahkan bahwa penderitaan tak berhenti sampai saat itu. Setelah mengarungi penderitaan agar bisa bertahan hidup dan sembuh dari luka-luka yang mereka alami. Muncul masalah baru. Penyakit akibat radiasi mewabah. Hal itu menyebabkan orang di luar Hiroshima harus berpikir ulang untuk mengunjungi tempat pengeboman. Bantuan dari luar akhirnya berkurang. Ada tiga periode penderitaan yang disebabkan penyakit ini. Periode pertama ketika korban yang meninggal mendadak tanpa luka bakar, ini dapat diketahui pada hari pengeboman terjadi. Sepekan sampai dua pekan selanjutnya animea dan demam tinggi menjadi ciri pada periode kedua. Sedangkan periode ketiga penyakit ini adalah rontoknya rambut dan kemampuan berpikir mereka menurun. Pada periode ini pula banyak yang meninggal berminggu-minggu setelah pengeboman akibat dari komplikasi penyakit yang tak bisa diatasi. Pada bab ini pulalah satu kenyataan pahit harus mereka terima, pernyataan kaisar bahwa perang usai dengan hasil kekalahan di pihak Jepang. Haru mengiringi tanpa ada yang saling menyalahkan atas terjadinya peristiwa ini. Di sinilah letak kecemburuanku pada mereka yang telah sabar dan tidak ada yang bertindak gegabah ketika penderitaan mengkudeta diri mereka. Bahkan rasa nasionalisme semakin berkobar di saat genting seperti ini. Banyak yang beranggapan bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah wujud pengabidan pada negara. 

Bab terakhir adalah masa-masa mengembalikan dan memulai hidup baru bagi mereka para korban. Kehidupan mereka berubah drastis. Banyak yang kehilangan, meski begitu mereka semakin kuat dan tabah. Mereka adalah pahlawan atas diri sendiri dan orang lain. Butuh berbulan-bulan untuk mengembalikan kehidupan mereka menjadi normal. Dari peristiwa ini mereka banyak mengambil pelajaran sehingga hal itulah yang membuat mereka berusaha agar bisa pulih dan memulai hidup untuk berhasil. Pada bab ini mereka mulai mengingat kembali kejadian perih itu. Bagaimana teman-teman mereka meninggal setelah menyanyikan lagu kebangsaan kimigayo. Bagaimana perasaan para korban yang membenci orang Amerika. Bagaimana seorang wanita yang selama sembilan bulan merasa kesakitan akibat kaki kirinya yang patah lalu akhirnya pincang dan menerima kenyataan tunangannya tak menemuinya lagi. Juga tentang data para yang tak bisa diketahui akurat tidaknya. Namun diperkirakan ada sekitar 100.000 orang yang tewas dalam kejadian ini, sisanya luka parah dan luka ringan dari penduduk yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa. Buku ini ditutup dengan kisah tentang perasaan seorang anak berusia 10 tahun yang turut menyaksikan peristiwa itu lalu dengan senang hati menulis esai tentang kesedihan atas apa yang ia saksikan. 

Buku ini meski tak lagi hangat tapi menurut saya akan tetap cocok untuk di baca 10 tahun akan datang dan seterusnya. Sebab bukan hanya reportase belaka yang dihadirkan melainkan pelajaran moral yang amat berharga. Inilah kelebihan jurnalisme sastrawi menurutku.

Makassar, 20 September 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang The Cranberries, Linkin Park, dan Perubahan Gaya Jilbab Saya

Sudah nyaris 10 tahun sejak saya merayakan ulang tahun ke-17 di sekolah. Ada banyak yang terjadi selama 10 tahun ini. Kupikir tulisan ini tidak begitu penting, namun semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian mengapa jilbab lebar saya berubah menjadi selembar kerudung saja? *psst memangnya sepenting apakah itu bagi hidupmu? Jika tidak penting, tidak usah dilanjutkan membacanya ;)   Jika bisa memilih dan menghapus fase dalam hidup, saya ingin sekali menghapus fase ketika saya saat berusia 16-18 tahun. Fase ketika saya selalu merasa paling benar dan belum tahu yang namanya mengkritisi diri sendiri. Pokoknya ketika belajar satu hal, baru selesai baca satu buku, sudah itulah yang paling benar, saya buru-buru mempraktikkannya. Masa-masa itu saya sedang senang-senangnya belajar agama Islam. Saya bersekolah di sekolah negeri, bukan pesantren. Namun justru itu yang membuat saya bertanya mengenai banyak hal. Saya ingin “mencari sendiri” bukan beragama hanya karena oran...

Bukan Tentang Rina Nose Yang Memutuskan Melepas Hijab

Saya menulis catatan ini setelah lama berpikir mengenai komentar mama dan tanteku di facebook kemarin sore atas tulisan Lailatul Fitriyah yang saya share. Keduanya berkomentar bahwa mereka tidak paham apa yang dituliskan Laila, bahasanya tingkat tinggi. Tulisan itu berjudul : Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi. Dalam keluarga, saya adalah cucu pertama yang berkuliah di kota Makassar, saya baru menyadari percuma jika saya merasa terdukasi dengan cukup baik namun tidak bisa menyampaikan apa yang saya dapatkan kepada keluarga saya. Well, setelah memutuskan untuk membuka jilbab, dengan pertimbangan selama beberapa tahun, saya pikir dengan alasan “Ini hak saya, dosa dan amal adalah urusan saya dengan Tuhan” sudah cukup untuk menjawab pertanyaan orang-orang di sekelilingku terutama keluarga. Saya juga sudah pernah menuliskan ceritanya di sini . Tapi ternyata tidak. Mereka masih bertanya-tanya, mulai berasumsi macam-macam, ada yang bilang saya terlalu stress. Mung...

Tentang Keinginan Nona Merasa Nyaman dan Aman di Lantai Dansa

Sejak kecil saya senang menari. Kupikir dari sabang sampai merauke kita punya tradisi menari masing-masing sejak lama. Namun semakin beranjak remaja, sebagai anak perempuan, saya mulai diwanti-wanti menjaga tubuh. Tidak boleh ini itu demi "menjaga diri". Terlebih menari, harus dikurangi. Menari, berdansa, berjoget, apapun pilihan katanya, itu adalah aktivitas menyenangkan. Dan sejak kecil saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya berada di tengah dancefloor. Tapi tidak semudah itu untuk merasakan nyamannya berdansa bagi anak perempuan. Saat beranjak dewasa saya pernah mendengar petuah seperti ini "Jangan ke diskotik, laki-laki menganggap perempuan yang ke sana adalah perempuan tidak benar, jadi mereka seenaknya akan meraba-raba tubuhmu." Dan saya mendengar ketika pelecehan seksual terjadi di lantai dansa banyak orang yang akan menyalahkan korban "Ya kalau tidak mau disentuh jangan bergabung." Tapi kupikir kita semua bisa m...